Manisnya Hidup; Kita yang Tentukan




“Satu perahu berlayar ke timur, lainnya ke barat. Padahal digerakkan oleh angin yang sama. Bukan arah angin yang menentukan ke mana arah perahu, tapi bentangan lebar layarlah yang membawa kita. Seperti angin laut itulah alur kehidupan. Saat kita mengarungi kehidupan, bentangan jiwalah yang menentukan tujuannya, dan bukan ketenangan, atau hirup pikuknya lingkungan kita.” (Ello Wheeler Wilcox)

Yang menentukan bagaimana hidup kita adalah seberapa kuat niat kita untuk bertindak sekarang juga atas apa yang menimpa kita.
Sebagian besar orang menunda-nunda dalam menentukan sikap, berusaha untuk menghindar dari sebuah pilihan, namun sejatinya mereka pun sedang memilih, yakni memilih untuk menghindari kehidupan.

Marilah kita ingat ayat 11 pada surah Ar-Ra’du dalam Al-Qur’anul Kariim.
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum tersebut mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”

Apa yang kita pilih untuk kehidupan ini? Bagaimana kehidupan kita sekarang? Bahagiakah? Atau dalam ketersiksaan? Semuanya bisa kita pilih. Karna hidup hanya masalah memilih. Kita bisa menjalani hidup dengan nikmat atau diperbudak oleh kehidupan, semua ada dalam kendali kita.

Untuk itu, adakah kita memikirkan siapa diri kita, hingga pilihan-pilihan yang kita ciptakan menggambarkan diri kita seutuhnya. Sang Pencipta begitu menyepesialkan kita. Maka sudah sepantasnya kita melakukan apa-apa yang menunjukkan bahwa kita memang special, dengan tidak memenuhi hari-hari kita dengan sesuatu yang sifatnya negatif. Apa pun itu termasuk sikap tidak menerima beban hidup ini, menyalahkan diri sendiri, atau menangisi masalah dengan keluhan secara berlebihan.
Insan-insan pengubah dunia adalah mereka yang bisa memetik pelajaran dari setiap kejadian. Mereka akan selalu belajar dari lingkungan yang positif. Menjadikan setiap kesempatan menjadi sesuatu yang penuh makna.
Hal yang paling penting bagi kita yang spesial ini adalah bertindak sebagai orang spesial dan tidak murahan. Yaitu dibuktikan pada perhatian kita dalam memandang hidup. Sudah saatnya kita menyingkirkan ’alasan’ yang menghambat untuk bertindak sekarang juga dalam memperbaiki hidup kita.

Bila kita menanam jagung, kita akan memetik jagung.
Bila kita menanam kebaikan, kita akan menuai keberuntungan.
Bila kita menanam keburukan, kita akan menuai kemalangan.
Bila kita menanam amal sholeh, kita akan mendapatkan surga.
Seperti apa jadinya kita di masa depan adalah hasil dari apa yang kita lakukan hari ini. Bila kita meremehkan hidup kita sekarang, kehidupan kita akan menjadi sulit nantinya. Jadi, mulai hari ini, berikanlah yang terbaik untuk hidup kita. Li ila kalimatillah..

-Crafty Rini Putri-

Poligami itu Bukan untuk Rumor



Gundah. Mungkin itu yang dirasakan para istri, ketika membayangkan suaminya hendak ber-poligami. Dari pemikirannya mengatakan sah saja. Namun hati dan perasaan bicara lain. Seolah tak mau menerima, padahal ia hukum Allah yang sepatutnya diterima.

Ada sebagian orang yang berpendapat, “ya poligami memang mubah, tapi nggak harus dipraktekkan toh?” ada juga yang mengeluarkan statement, “silahkan saja kalau mau poligami, tapi jangan suami saya!”

Ungkapan-ungkapan seperti ini sedikit terdengar paradoks. Kenapa? Karena, jika seseorang telah meridhoi sesuatu, tentu tak masalah baginya untuk melakukan atau mendapatkan hal itu.

Ketika masih ada hal lain yang lebih diridhoi selain apa yang diridhoi Allah, maka hati-perasaan dan pemikirannya belum disandarkan secara total terhadap Allah SWT.

Namun ada benarnya, segala sesuatu yang mubah secara hukum, tidak harus kita jalankan. Jika ingin dan melihat ada mashlahat di sana, boleh dijalankan. Sebaliknya, jika melakukannya justru akan mendatangkan kepada maksiat dan keburukan, maka harus ditinggalkan.

Oleh karenanya, ngobrol tentang poligami bisa tak habis-habis kalau tidak dalam satu frekuensi persepsi. Hal utama yang wajib diketahui adalah hukum poligami itu sendiri yang mubah. Sebagaimana Allah tegaskan dalam firman-Nya:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa’ : 3)

Selanjutnya adalah pilihan masing-masing orang. Jadi untuk apa dirumorkan? Apalagi dibahas, ketika poligami, istri pertamanya akan cemburu dan sebagainya.

Secara praktis mari kita berfikir, bukankah setiap orang punya rasa cemburu?? Bukan lantas hanya orang yang dipoligami. Masalahnya hanya terletak pada manajemen perasaan yang diletakkan dengan baik, misalnya bagaimana caranya cemburu itu jadi terarah dan bukan cemburu buta. Kalau sudah cemburu buta, tanpa tahu fakta sudah member judgement yang tidak-tidak, tentu ini yang bahaya dan mematikan. Ini yang harus dihindari.

Nah, bagaimana jika suami yang tidak ingin poligami? Oke oke saja. Istri juga tidak seharusnya mendesak suami untuk justru berpoligami (adakah istri yang seperti ini?)

Akhir-akhir ini, banyak kasus seputar selingkuh dan main hati. Tentu ini tidak dibenarkan. Namun, mengapa ini bisa terjadi, dan apa solusinya?

Jika ada yang memberi solusi poligami, boleh-boleh saja. Hanya, yang lebih patut kita renungkan adalah apa, mengapa, dan bagaimana rumah tangganya berjalan? Sudahkah sesuai dengan koridor Islam? Sudahkah dengan sungguh-sungguh menjalankan hak-kewajiban setiap pasangan?

Marilah kita evaluasi diri kita, sebelum mengeluarkan satu-dua keputusan. Sangat mungkin, apa yang terjadi dalam hidup kita adalah ujian dari Allah untuk menaikkan tingkat diri kita atau malah sebagai teguran karna kita telah terlampau jauh dari Allah.

Pikirkan masak-masak segala sesuatunya. Karena boleh jadi apa yang kita senangi dan kita fikirkan baik untuk kita, ternyata justru mendatangkan keburukan. Sebaliknya, kita berfikir itu buruk dan tidak cocok dengan kita, ternyata justru itu yang terbaik. Kita sangat lemah untuk menduga-duga apa yang kita tidak ketahui. Sedangkan Allah SWT Maha Mengetahui segalanya.

Alih-alih menjadikannya rumor, lebih baik kita berharap kepada Allah agar Dia melekatkan diri kita pada Rabb kita, Allah SWT. Juga mendekatkan kita pada Uswah kita, Rasulullah SAW. Serta merekatkan hubungan kita pada partner hidup (suami/istri) kita, orangtua, kakak-adik, kerabat, sahabat, para pengemban risalah Islam, serta seluruh kaumnya Nabi Muhammad, Ummat Islam. [Ummu ‘Aamirah]