Serpihan Cinta Said


“Ma… Anna kan udah 25 tahun. Kapan mama setuju Anna menikah?” Tanyaku di sore hari saat aku melihat mama membaca buku. Kebiasaan mama sore-sore adalah membaca.
Aku bangga padanya yang telah mewariskan darah kepenulisan padaku. Mama seorang wartawan koran nasional di masa mudanya dan memilih resign setelah menikah. Sama dengan papa, selain pekerjaan utamanya sebagai dosen, ia seorang penulis. Dari situlah papa dan mama bisa kompak menerbitkan buku-buku karyanya. 

Aku kemudian banyak belajar sendiri dari apa yang kulihat dari tulisan-tulisan mama dan papa. Mereka berdua adalah penulis idolaku. Kelak, aku ingin sekali menikah dengan seorang penulis juga. Hmmm, rasanya indah dan menyenangkan. Pasti romantis. Setiap hari akan dapat puisi dari pujaan hati. Seperti papa ke mama.

Hanya… Memang mama banyak berubah setelah papa meninggal satu tahun ini. Mama tak lagi menulis. Dan sepertinya sangat kehilangan sosok pria romantis yang selalu ada di sisinya. Itu sih dugaanku. Aku tak tahu pasti apa yang mama risaukan.

Pasca papa meninggal, kehidupan kami berubah. Aku harus bekerja untuk penuhi kehidupan sehari-hari. Aku sangat bahagia bisa menghidupi keluarga dari keringatku sendiri. Tapi…. Apakah ini alasan mama belum bersuara tentang pernikahanku. Mama takut kehilanganku? Benarkah.

Di kamar mama terlihat santai, namun pertanyaanku seketika mengubah raut mukanya yang tenang. Mama diam, lalu berdiri dan pergi meninggalkanku di kamarnya sendirian. Sepertinya aku masih salah memilih momen. Entah kapan waktu yang tepat bicara pada mama. Aku pun diam. Tak tahu harus apalagi. Kupikir aku sudah bicara pelan-pelan, tapi mama tetap tidak mau bersuara.

Aku merasa sudah dewasa, dan pantas untuk menikah. Kenapa sih, mama selalu bungkam kalau kutanya tentang pernikahan. Kapan aku mengakhiri masa lajang ini. Pikiranku kacau. Aku memilih merebahkan badanku di kasur empuk ini, sampai terpejam, berharap mimpi mama sudah setujui keinginanku.

**

Pagi-pagi aku berangkat ke Cafe, tempatku bekerja. Hatiku galau sedari kemarin, masih berkecamuk. Tapi aku berusaha menjalankan pekerjaan tanpa terganggu dengan otakku yang meracau.

“Mba Anna, kata papa tolong siapkan tiga porsi pempek kapal selam dan tiga cappuccino ya. Sebentar lagi akan ada tamu. Makasih.” Pinta said, putra kedua Bu Ennie, pemilik Cafe ini. Ia tersenyum sebelum meninggalkanku untuk duduk di sudut cafe. Aku sengaja memperhatikannya yang sibuk dengan buku dan pulpen. Ya, dia sedang menulis, yang entah tentang apa.

Tempat ini sangat luas. Cafe berada di beranda rumah dan tepat di depan jalan raya. Mereka tinggal pula di sini. Oleh karena rumahnya luas dan bertingkat, setiap hari akan ada adegan aku berpapasan dengan lelaki itu, sepulangnya bekerja atau ketika ia keluar rumah entah ke mana. Atau bahkan jika ia menyengajakan diri duduk di cafe.

“Baik Mas.” Jawabku sesingkat mungkin. Agar mempersingkat degup jantungku yang tak karuan.

Aku segera menyiapkan permintaannya. Seusai itu, hatiku melambung, mengawang-ngawang. Aku terlalu banyak galau. Kapan move onnya sih. Gerutuku dalam hati.

“Mbak, aku boleh minta bikinin menu kesukaanku?” Hatiku berdegup lagi tak karuan.

“M, menu apa ya, Mas?” Ucapku ragu

“Kamu nggak tau apa yang aku suka?” Oh. Kenapa dia harus banyak bertanya. Aku menggeleng.

“Kupikir kamu inget semua yang kamu bikin buat aku.” Deg. Aku mengangkat kepalaku heran, dan kaget.

“Eh mmm ya udah kamu bikin aja creamy late. Jangan terlalu manis. Dan jangan pahit.” Dia berlalu

Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya disaat jantungku hampir copot karena percakapan singkat itu.

“Ini, Mas.. Silahkan.” Ujarku singkat, padat, jelas dan pergi begitu saja tanpa ingin ada perbincangan lagi.

**

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku berangkat ke cafe seperti biasa dan kali ini berpapasan dengan lelaki itu. Ia terlihat tergesa keluar cafe dan sepertinya tidak melihatku. Tapi lihat, bahkan hanya sekadar berpapasan beberapa detik saja jantungku berdegup tak karuan. Oh! Kapankah penderitaanku ini berakhir.

Untung saja Mbak Nana memanggil, memintaku membereskan meja yang sudah ditinggalkan pengunjung. Menjelang petang begini, biasanya pengunjung semakin ramai. Aku membereskan meja dan menemukan sebuah buku tergeletak. Sepertinya milik pengunjung sebelumnya yang tertinggal. Judul bukunya Ja(t)uh. Unik sekali judul buku ini, desisku.

Halaman pertama kubuka. Ada nama Said. Oh, buku milik Mas Saidkah? Aku melihat beberapa sticky note menempel di beberapa bagian.

Halaman 69
Kita berjumpa
Saling memandang dan menyapa.
Meski jarang dan bukan sekarang
Setidaknya, kita bisa bertegur sapa
Tapi aku,
Aku hanya merindumu dalam aksara
Aku hanya merindu bagian darimu yang hadir dalam rentetan kata-kata yang kau tulis untuk kubaca
Menatap, membuatku terkesiap tak siap
Menyapa, memicu gejolak tak berupa
jadi, cukupkan jiwa kita bercengkerama dalam aksara
Di hadapanmu aku beku
Di dekatmu aku ragu
Hanya dalam aksara aku bebas jatuh cinta
Dan di sana pula, aku bisa gila.

“Ah, sebuah puisi cinta. Mengapa Mas Said menandai bagian ini? Apa Mas Said sedang jatuh cinta? Pada siapa? Pastinya ia adalah orang yang sering ditemui Mas Said. Mungkinkah teman kerjanya?” Batinku meracau seraya membuka halaman yang ditandai lainnya. 

Halaman 86
Kamu ingin tahu bagaimana rasanya seketika lupa cara bicara? Jadilah aku. Lalu, temuilah dirimu. Esok, lusa, atau kapan pun kamu bersedia. Maka, kamu akan merasakan getar-getar itu : gempa bumi pribadi yang membuat jiwamu seolah luluh tanpa daya.

“Jadi, Mas Said benar-benar mencintai wanita ini?” Ada yang terasa tersayat. Hatiku tiba-tiba terasa perih hingga seakan fisikku ikut lumbung. Aku kembali membalik halamannya, kali ini aku langsung membuka halaman terakhir

Halaman 163
Kita telah belajar banyak dari s p a s i, bahwa hadirnya jarak telah mencipta begitu banyak makna. Namun, rasanya teramat naif bila kini aku berkata: aku begitu menikmati keterpisahan ini –detik-detik ketika hanya bisa bicara pada udara. Waktu memang terlalu angkuh untuk mengerti betapa jahatnya rindu yang mendera. Hingga bila kita mau jujur melihat ke balik jiwa, ada luka di sana, yang tak pernah butuh pemulihan apa-apa kecuali jumpa.
Apa yang semalam turun bersama hujan –apakah harapan atau sekadar kenangan? Barangkali hanya waktu yang benar-benar tahu. Tapi bukankah waktu ada di pihak kita? Jadi tak ada lagi yang perlu kita takutkan kecuali Tuhan. Tidak badai, tidak juga gempa. Terlebih hanya angin biasa.
Aku akan menjemputmu di sebuah taman tanpa bunga. Di taman itu, mungkin juga tak ada kolam air mancur, patung-patung artistik, atau hiasan apa saja sebab kehadiranmu saja sudah mengindahkan semuanya.

Aku menduga, Mas Said akan segera menikahi wanita ini. Hatiku semakin bergemuruh. Tepat saat itu, Mbak Nana menepukku dari belakang, “Kenapa nggak segera dibereskan, Na?”

“Oh, iya, Mbak. Eh, ini ada buku yang ketinggalan. Kayaknya punya Mas Said.” Kataku gugup sembari sebisa mungkin mengendalikan air mata yang sudah menggenang.

“Oh, sini biar aku simpan. Nanti aku bilang ke Mas Said kalo dia udah balik.” Jawab Nana

“Iya Mbak.” Jawabku singkat dan segera membereskan meja

“Anna, kamu sakit? Kok wajahmu pucat gini?” Pertanyaan Mbak Nana membuat pertahananku runtuh. Seketika itu, aku berhamburan.

Aaah. Aku ingin menikah. Menikah dengan siapa pun, yang membuatku tenang dan terjaga. Ingin rasanya menikah dengan orang yang menarik hatiku. Tapi rasanya tak mungkin. Dia berada dalam strata yang memisahkan diriku dan dirinya. Apalagi, sekarang aku tahu bahwa dia sudah mencintai seorang wanita dan akan segera menikahinya.

Ya, seperti kata orang bijak. Menikah dengan orang yang kita cintai adalah anugerah. Tapi mencintai orang yang kita nikahi adalah kewajiban. Detik ini, aku memilih pasrah. Siapa pun jodohku, aku ikhlas. Toh hingga saat ini mama juga belum buang suara. Beliau seolah masih menganggapku anak kecil.

**

PoV Said.

Aku mengobrak-abik ranselku. “Aaargh dimanaa buku itu?” Aku mengumpat dalam hati. Di saat yang sama, sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Mbak Nana, kepala pelayan di cafe mama.

“Mas, bukunya Mas Said ketinggalan di cafe. Sudah saya simpankan. Cuma ngasih tahu biar mas Said ga bingung nyari-nyari.” Ah, ternyata ketinggalan di cafe. 

Ah iya, pantas, tadi aku terburu-buru pergi karena melihat Anna datang. Aku bukannya tidak ingin bertemu Anna. Bagaimana mungkin aku tidak ingin bertemu dengan wanita yang berbulan-bulan ini membuatku tersenyum dan merutuki diri di saat yang bersamaan. Namun, saat ini aku sedang berusaha berdamai dengan hatiku. Karena aku tahu, dia tidak pernah peduli denganku. Bagaimana mungkin dia peduli, bahkan minuman favorit yang sering aku pesan di cafe mama saja ia tidak ingat. Dia selalu berbicara singkat padaku. Sepertinya memang tidak ada hal yang menurutnya menarik untuk dibicarakan denganku. Maka, aku putuskan untuk berhenti. Aku tiba-tiba menjadi pria paling pengecut di dunia. Biar saja.

Aku kembali ke cafe beberapa hari setelah itu. Kesibukan kantor membuatku berangkat saat cafe belum buka dan pulang setelah cafe tutup. Di satu sisi, aku bersyukur karena tidak perlu bertemu Anna walau hatiku mengiba, meminta untuk sekadar menatap wajahnya, atau mendengar suaranya. Biarlah. Nanti juga terbiasa.

“Mbak Nana, saya mau ambil buku saya yang kemarin ketinggalan.” Kataku setelah menyapanya

“Ini, Mas.” Mbak Nana menjawab sambil menyerahkan buku. Di saat yang sama, seorang pelayan keluar dari dapur.

“Pelayan baru ya, Mbak?” Tanyaku

“Iya, Mas. Ngegantiin Anna.” Jawab Mba Nana

Deg. Anna sudah nggak kerja disini lagi. “Lho, emang kenapa Anna mba, kok berhenti?” Tanyaku sambil berdehem karena tiba-tiba saja suaraku tercekat

“Eemm. Anu, Mas. Apa.. Itu.. Dia mau kerja di dekat rumahnya biar nggak kelamaan ninggalin mamanya. Kebetulan toko buku di deket rumahnya pas buka lowongan juga.”

“Oh ya sudah, Mbak. Saya masuk dulu.” Aku sudah tidak fokus dengan jawaban Mbak Nana dan memilih untuk segera pergi.

Aku kembali ke kamar dengan hati penuh lebam. Aku sudah tahu jika Anna tidak suka denganku. Namun tetap saja, aku ingin sekali-kali bertemu agar hatiku tidak meronta, walaupun di saat bersamaan, jantungku berdegup kencang seperti habis lomba lari.

All I want is nothing more
To hear you knocking at my door
Cause if I could see your face once more
I could die as happy man I’m sure

Lagu Kodaline terputar secara otomatis di kepala. Aku sudah tahu jika Anna tidak suka denganku. Tapi sebelum hari ini, aku merasa masih punya harapan. Harapan bahwa suatu saat aku akan menjadi pria pemberani dan mengungkapkan perasaanku pada Anna, tak peduli ia akan menjawab apa.

Tapi Anna sudah pergi. Ya Tuhaaan apa yang harus aku lakukan?

When you say your last goodbye
I died a little bit inside
I lay in tears in bed all night
Alone without you by myside

**

Lima tahun berlalu sejak Anna meninggalkan cafe. Tidak ada yang berubah kecuali dua hal. Pertama, mama dan papa yang sudah mulai bawel untuk memintaku menikah. Kedua, aku mulai sering keluar kota untuk menghadiri undangan bedah buku. Ya, tanpa kusangka, buku pertama yang aku terbitkan secara mandiri laris. Bahkan siang ini, aku akan meluncurkan novel pertama sekaligus buku ketiga yang kali ini lewat sebuah penerbit ternama nasional. Ah, aku tiba-tiba merasa serupa Zainudin yang menjadi pujangga karena ditinggal Hayati.

“Acaranya di mana, Mas?” Pesan singkat dari mama masuk. Aku membalas dengan menyebutkan lokasi peluncuran buku.

“Maaf ya, Mas, mama dan papa nggak bisa dateng hari ini. Tapi mama udah bilang ke semua pelayan biar dateng ke peluncuran bukumu, Mas. Cafe sengaja mama suruh tutup hari ini. Pokoknya spesial deh buatmu! We Love You. ” Pesan dari mama masuk lagi

“Hh. Mama, buat apa sih..” Aku menggerutu dalam hati. Tapi, biarlah. Mungkin mamasaking bahagia karena novelku dilirik penerbit nasional.

**

Acara peluncuran novelku berjalan lancar. Novel ini memang berbeda dari biasanya yang kutulis. Novel sad ending. Tiba saat moderator membuka sesi tanya jawab, seseorang dari gerombolan siswa berseragam putih abu-abu bertanya, “Kak, kok novelnya sad ending,sih, Kak? Pengalaman pribadi ya, Kak?”

Pertanyaan itu  membuatku tercekat. Sudah lima tahun tapi perasaanku tidak berubah. Nama Anna tidak pernah bergeser seinchi pun dari tempat pertama kali ia kuletakkan.

“Eemm. Yaah bisa dibilang begitu.” Jawabku sekenanya yang langsung membuat gerombolan anak SMA itu ber-ciye ria. 

“Duh, anak SMA, seneng banget kalo udah baper-baperan gini.” Aku membatin sambil geli sendiri

“Kak, ceritain dong, Kak kisah cinta sad ending kakak. Sama kayak yang di novel nggak, Kak?” Anak lain di gerombolan itu masih memberondong pertanyaan

“Eem. Kisah sad ending saya, sudah lima tahun yang lalu. Saat itu, saya menyukai seorang pelayan di cafe milik mama saya. Tapi, tiba-tiba saja dia menghilang sebelum saya mengungkapkan perasaan saya.” Entah ada angin apa, aku menjawab pertanyaan itu dengan apa adanya. Ya! Apa adanya. Hal yang sudah lebih dari lima tahun aku sembunyikan dari siapa pun.

“Sekarang masih menyimpan rasa nggak, Kak?” Seseorang yang lain nyeletuk dari belakang

“Masih” Jawabku ringan terbawa suasana. Suara gerombolan anak SMA itu makin riuh rendah. Tapi di pojok lain, ada yang rusuh juga. Oh my God! Pelayan cafe mama! Bagaimana bisa aku benar-benar lupa kalau mama menyuruh mereka datang ke sini! Aih.

**

Beberapa hari setelah itu, aku ke cafe dan langsung disambut Mbak Nana. “Mas, anak-anak nanyain, siapa pelayan cafe yang dimaksud Mas Said pas di peluncuran buku kemarin.” Ujar Mbak Nana sambil nyengir

“Ish, apa sih, Mbak. Nggak usah dibahaslah. Haha.” Jawabku kikuk

“Anna ya, Mas?” Mbak Nana bertanya singkat. Aku hanya diam saja.

“Saya mau ngaku sesuatu Mas.” Tiba-tiba nada bicara Mbak Nana serius

“Ngaku gimana, Mbak?”

“Sebenernya, pas Bu Ennie nyuruh kita dateng ke peluncuran novelnya Mas Said itu, saya ngabarin Anna. Dan.. Anna dateng. Dia sengaja nggak duduk di acaranya Mas Said. Tapi dia menyimak acara itu dari awal sampe akhir, termasuk pas Mas Said bilang…” Saat itu, aku rasanya rela ditabrak kereta dan mati seketika daripada menerima kenyataan bahwa pengakuan atas perasaanku yang sederhana berubah menjadi serumit ini.

“Dan… Anna mengajak bertemu setelah itu, meminta saya ngasihin ini ke Mas Said.” Lanjut Mbak Nana sambil menyerahkan secarik kertas

Aku membacanya, mencoba menguasai diri lalu bertanya pada Mbak Nana, “Terus bagaimana?”

“Bagaimana apanya mas?” Mbak Nana bingung. Aku juga tidak tahu maksud pertanyaanku. Aku hanya merasa perlu mengatakan sesuatu untuk menetralisir perasaanku saat ini.

“Sebenernya Mas,“ lanjut Nana, “Anna dulu suka sama Mas Said. Tapi pas baca buku Mas Said yang ketinggalan dulu, Anna ngiranya Mas Said lagi jatuh cinta sama orang lain. Anna patah hati dan memutuskan keluar dari cafe. Katanya dia nggak akan kuat kalau tiap hari harus ketemu Mas Said.” Setelah lima menit berlalu tanpa satu kata pun keluar dari mulutku, Mbak Nana memutuskan untuk beranjak. Aku kembali membaca surat singkat dari Anna.

“Seandaikan aku tahu dulu kamu mencintaiku, aku pasti akan kuat seberapa pun beratnya. Seandainya dulu kamu berani memintaku, aku pasti akan bertahan. Tapi aku fikir, kamu tidak memahami cinta sejati. Sekarang, aku sudah menikah dengan orang lain. Lelaki baik yang mencintaiku karena kecintaannya kepada Tuhannya. Lelaki yang telah berhasil meluluhkan hati mama karena ketulusannya. Maka tidak ada gunanya kamu menungguku. Carilah perempuan yang baik. Semoga Allah melindungimu, Mas Said.”

Aku menahan nafas. Serpihan-serpihan yang kusebut cinta memudar, memendar, menghilang. Aku merasa ada yang salah dengan rasa seperti ini. Ah. Dia telah memilih jalannya. Aku, hanya lelaki yang bahkan tak mengerti arti cinta. Cinta yang bukan sekadar nafsu. Cinta yang bukan sekadar untuk diucapkan.[]


Rini-Mumu. 9 Oktober 2015 


*  Cerita ini hasil karya Rini & Mumu dalam Tantangan Duet OWOP dari RuNa 
** Sebenernya judul dari Mumu, “Terajam Diam”
***Cuma karena ini blogku jadi pake judul buatanku :D Pisss ya, Mumu