Menebar Benih Keikhlasan dalam Bilik Hati


Kita bisa jujur pada hati sendiri, namun seringkali justru membohongi.
Setiap ada pilihan berbuat baik, pilihan buruk sentiasa menggoda.
Tak lama berfikir, terburu-buru, akhirnya yang keluar adalah keputusan mentah.
Berlagak seperti mampu padahal jiwanya rapuh.
Bersikap seolah cerdas padahal raganya tertindas.
Menepis ruang yang biasa bicara apa adanya, tak dikurang-tambahi.
Mencoba tenang dalam airmata yang menggenang.
Namun, tetap saja hati gundah.
Merenungi sebuah matriks hidup yang kian meredup.
Lupa, dengan ketulusan, keikhlasan, kesabaran.
Karna dinding yang tak tertanding.
Menjadikan lumpuh, layu.
Hilang peka. Hanya meraba-raba.
Akhirnya, selalu persepsi yang dibuat-buat sendiri.
Yang menghadirkan fakta mengada-ada.
Lalu sibuk membenarkan diri.
Menyalahkan yang lain.
Meremehkan setiap orang.
Walau gayanya seperti orang yang tak pernah khilaf.
Dan bangga.
Memaksa diri sendiri untuk selalu tampak bak permaisuri.
Yang menjadi pelayan umat tapi selalu ingin dilayani.
Yang menjadi pengayom umat tapi selalu ingin orang memahaminya.
Tak ingin adil dalam bersikap, hanya kepentingan sendiri yang diharap.
Pekerjaannya mengomentari orang, orang, dan orang.
Tak ingat dirinya punya cermin untuk memukul si empunya.
Namun lebih suka berfokus pada kekurangan siapapun di depannya.
Tak kepikiran bahwa suatu saat ia bisa menjadi apa yang ia katakan pada orang.
Saat kekurangan orang akhirnya menimpanya jua.
Dan ia tak kuasa.
Jika kini hanya mengiri pada yang ikhlas berbagi.
Namun tak sepeserpun uang terbayar.
Sedekah hanya nanti, nanti, dan nanti.
Menolong orang pun sedikit terpikir namun enggan.
Pantas saja hatinya gusar. Pikiran sering buyar.
Kalau sudah begitu, apakah masih pantas menyebut diri seorang pejuang?
Marilah kita sebut pejuang hidup yang tidak berjuang.

ShoutMix chat widget