Serpihan Cinta Said


“Ma… Anna kan udah 25 tahun. Kapan mama setuju Anna menikah?” Tanyaku di sore hari saat aku melihat mama membaca buku. Kebiasaan mama sore-sore adalah membaca.
Aku bangga padanya yang telah mewariskan darah kepenulisan padaku. Mama seorang wartawan koran nasional di masa mudanya dan memilih resign setelah menikah. Sama dengan papa, selain pekerjaan utamanya sebagai dosen, ia seorang penulis. Dari situlah papa dan mama bisa kompak menerbitkan buku-buku karyanya. 

Aku kemudian banyak belajar sendiri dari apa yang kulihat dari tulisan-tulisan mama dan papa. Mereka berdua adalah penulis idolaku. Kelak, aku ingin sekali menikah dengan seorang penulis juga. Hmmm, rasanya indah dan menyenangkan. Pasti romantis. Setiap hari akan dapat puisi dari pujaan hati. Seperti papa ke mama.

Hanya… Memang mama banyak berubah setelah papa meninggal satu tahun ini. Mama tak lagi menulis. Dan sepertinya sangat kehilangan sosok pria romantis yang selalu ada di sisinya. Itu sih dugaanku. Aku tak tahu pasti apa yang mama risaukan.

Pasca papa meninggal, kehidupan kami berubah. Aku harus bekerja untuk penuhi kehidupan sehari-hari. Aku sangat bahagia bisa menghidupi keluarga dari keringatku sendiri. Tapi…. Apakah ini alasan mama belum bersuara tentang pernikahanku. Mama takut kehilanganku? Benarkah.

Di kamar mama terlihat santai, namun pertanyaanku seketika mengubah raut mukanya yang tenang. Mama diam, lalu berdiri dan pergi meninggalkanku di kamarnya sendirian. Sepertinya aku masih salah memilih momen. Entah kapan waktu yang tepat bicara pada mama. Aku pun diam. Tak tahu harus apalagi. Kupikir aku sudah bicara pelan-pelan, tapi mama tetap tidak mau bersuara.

Aku merasa sudah dewasa, dan pantas untuk menikah. Kenapa sih, mama selalu bungkam kalau kutanya tentang pernikahan. Kapan aku mengakhiri masa lajang ini. Pikiranku kacau. Aku memilih merebahkan badanku di kasur empuk ini, sampai terpejam, berharap mimpi mama sudah setujui keinginanku.

**

Pagi-pagi aku berangkat ke Cafe, tempatku bekerja. Hatiku galau sedari kemarin, masih berkecamuk. Tapi aku berusaha menjalankan pekerjaan tanpa terganggu dengan otakku yang meracau.

“Mba Anna, kata papa tolong siapkan tiga porsi pempek kapal selam dan tiga cappuccino ya. Sebentar lagi akan ada tamu. Makasih.” Pinta said, putra kedua Bu Ennie, pemilik Cafe ini. Ia tersenyum sebelum meninggalkanku untuk duduk di sudut cafe. Aku sengaja memperhatikannya yang sibuk dengan buku dan pulpen. Ya, dia sedang menulis, yang entah tentang apa.

Tempat ini sangat luas. Cafe berada di beranda rumah dan tepat di depan jalan raya. Mereka tinggal pula di sini. Oleh karena rumahnya luas dan bertingkat, setiap hari akan ada adegan aku berpapasan dengan lelaki itu, sepulangnya bekerja atau ketika ia keluar rumah entah ke mana. Atau bahkan jika ia menyengajakan diri duduk di cafe.

“Baik Mas.” Jawabku sesingkat mungkin. Agar mempersingkat degup jantungku yang tak karuan.

Aku segera menyiapkan permintaannya. Seusai itu, hatiku melambung, mengawang-ngawang. Aku terlalu banyak galau. Kapan move onnya sih. Gerutuku dalam hati.

“Mbak, aku boleh minta bikinin menu kesukaanku?” Hatiku berdegup lagi tak karuan.

“M, menu apa ya, Mas?” Ucapku ragu

“Kamu nggak tau apa yang aku suka?” Oh. Kenapa dia harus banyak bertanya. Aku menggeleng.

“Kupikir kamu inget semua yang kamu bikin buat aku.” Deg. Aku mengangkat kepalaku heran, dan kaget.

“Eh mmm ya udah kamu bikin aja creamy late. Jangan terlalu manis. Dan jangan pahit.” Dia berlalu

Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya disaat jantungku hampir copot karena percakapan singkat itu.

“Ini, Mas.. Silahkan.” Ujarku singkat, padat, jelas dan pergi begitu saja tanpa ingin ada perbincangan lagi.

**

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku berangkat ke cafe seperti biasa dan kali ini berpapasan dengan lelaki itu. Ia terlihat tergesa keluar cafe dan sepertinya tidak melihatku. Tapi lihat, bahkan hanya sekadar berpapasan beberapa detik saja jantungku berdegup tak karuan. Oh! Kapankah penderitaanku ini berakhir.

Untung saja Mbak Nana memanggil, memintaku membereskan meja yang sudah ditinggalkan pengunjung. Menjelang petang begini, biasanya pengunjung semakin ramai. Aku membereskan meja dan menemukan sebuah buku tergeletak. Sepertinya milik pengunjung sebelumnya yang tertinggal. Judul bukunya Ja(t)uh. Unik sekali judul buku ini, desisku.

Halaman pertama kubuka. Ada nama Said. Oh, buku milik Mas Saidkah? Aku melihat beberapa sticky note menempel di beberapa bagian.

Halaman 69
Kita berjumpa
Saling memandang dan menyapa.
Meski jarang dan bukan sekarang
Setidaknya, kita bisa bertegur sapa
Tapi aku,
Aku hanya merindumu dalam aksara
Aku hanya merindu bagian darimu yang hadir dalam rentetan kata-kata yang kau tulis untuk kubaca
Menatap, membuatku terkesiap tak siap
Menyapa, memicu gejolak tak berupa
jadi, cukupkan jiwa kita bercengkerama dalam aksara
Di hadapanmu aku beku
Di dekatmu aku ragu
Hanya dalam aksara aku bebas jatuh cinta
Dan di sana pula, aku bisa gila.

“Ah, sebuah puisi cinta. Mengapa Mas Said menandai bagian ini? Apa Mas Said sedang jatuh cinta? Pada siapa? Pastinya ia adalah orang yang sering ditemui Mas Said. Mungkinkah teman kerjanya?” Batinku meracau seraya membuka halaman yang ditandai lainnya. 

Halaman 86
Kamu ingin tahu bagaimana rasanya seketika lupa cara bicara? Jadilah aku. Lalu, temuilah dirimu. Esok, lusa, atau kapan pun kamu bersedia. Maka, kamu akan merasakan getar-getar itu : gempa bumi pribadi yang membuat jiwamu seolah luluh tanpa daya.

“Jadi, Mas Said benar-benar mencintai wanita ini?” Ada yang terasa tersayat. Hatiku tiba-tiba terasa perih hingga seakan fisikku ikut lumbung. Aku kembali membalik halamannya, kali ini aku langsung membuka halaman terakhir

Halaman 163
Kita telah belajar banyak dari s p a s i, bahwa hadirnya jarak telah mencipta begitu banyak makna. Namun, rasanya teramat naif bila kini aku berkata: aku begitu menikmati keterpisahan ini –detik-detik ketika hanya bisa bicara pada udara. Waktu memang terlalu angkuh untuk mengerti betapa jahatnya rindu yang mendera. Hingga bila kita mau jujur melihat ke balik jiwa, ada luka di sana, yang tak pernah butuh pemulihan apa-apa kecuali jumpa.
Apa yang semalam turun bersama hujan –apakah harapan atau sekadar kenangan? Barangkali hanya waktu yang benar-benar tahu. Tapi bukankah waktu ada di pihak kita? Jadi tak ada lagi yang perlu kita takutkan kecuali Tuhan. Tidak badai, tidak juga gempa. Terlebih hanya angin biasa.
Aku akan menjemputmu di sebuah taman tanpa bunga. Di taman itu, mungkin juga tak ada kolam air mancur, patung-patung artistik, atau hiasan apa saja sebab kehadiranmu saja sudah mengindahkan semuanya.

Aku menduga, Mas Said akan segera menikahi wanita ini. Hatiku semakin bergemuruh. Tepat saat itu, Mbak Nana menepukku dari belakang, “Kenapa nggak segera dibereskan, Na?”

“Oh, iya, Mbak. Eh, ini ada buku yang ketinggalan. Kayaknya punya Mas Said.” Kataku gugup sembari sebisa mungkin mengendalikan air mata yang sudah menggenang.

“Oh, sini biar aku simpan. Nanti aku bilang ke Mas Said kalo dia udah balik.” Jawab Nana

“Iya Mbak.” Jawabku singkat dan segera membereskan meja

“Anna, kamu sakit? Kok wajahmu pucat gini?” Pertanyaan Mbak Nana membuat pertahananku runtuh. Seketika itu, aku berhamburan.

Aaah. Aku ingin menikah. Menikah dengan siapa pun, yang membuatku tenang dan terjaga. Ingin rasanya menikah dengan orang yang menarik hatiku. Tapi rasanya tak mungkin. Dia berada dalam strata yang memisahkan diriku dan dirinya. Apalagi, sekarang aku tahu bahwa dia sudah mencintai seorang wanita dan akan segera menikahinya.

Ya, seperti kata orang bijak. Menikah dengan orang yang kita cintai adalah anugerah. Tapi mencintai orang yang kita nikahi adalah kewajiban. Detik ini, aku memilih pasrah. Siapa pun jodohku, aku ikhlas. Toh hingga saat ini mama juga belum buang suara. Beliau seolah masih menganggapku anak kecil.

**

PoV Said.

Aku mengobrak-abik ranselku. “Aaargh dimanaa buku itu?” Aku mengumpat dalam hati. Di saat yang sama, sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Mbak Nana, kepala pelayan di cafe mama.

“Mas, bukunya Mas Said ketinggalan di cafe. Sudah saya simpankan. Cuma ngasih tahu biar mas Said ga bingung nyari-nyari.” Ah, ternyata ketinggalan di cafe. 

Ah iya, pantas, tadi aku terburu-buru pergi karena melihat Anna datang. Aku bukannya tidak ingin bertemu Anna. Bagaimana mungkin aku tidak ingin bertemu dengan wanita yang berbulan-bulan ini membuatku tersenyum dan merutuki diri di saat yang bersamaan. Namun, saat ini aku sedang berusaha berdamai dengan hatiku. Karena aku tahu, dia tidak pernah peduli denganku. Bagaimana mungkin dia peduli, bahkan minuman favorit yang sering aku pesan di cafe mama saja ia tidak ingat. Dia selalu berbicara singkat padaku. Sepertinya memang tidak ada hal yang menurutnya menarik untuk dibicarakan denganku. Maka, aku putuskan untuk berhenti. Aku tiba-tiba menjadi pria paling pengecut di dunia. Biar saja.

Aku kembali ke cafe beberapa hari setelah itu. Kesibukan kantor membuatku berangkat saat cafe belum buka dan pulang setelah cafe tutup. Di satu sisi, aku bersyukur karena tidak perlu bertemu Anna walau hatiku mengiba, meminta untuk sekadar menatap wajahnya, atau mendengar suaranya. Biarlah. Nanti juga terbiasa.

“Mbak Nana, saya mau ambil buku saya yang kemarin ketinggalan.” Kataku setelah menyapanya

“Ini, Mas.” Mbak Nana menjawab sambil menyerahkan buku. Di saat yang sama, seorang pelayan keluar dari dapur.

“Pelayan baru ya, Mbak?” Tanyaku

“Iya, Mas. Ngegantiin Anna.” Jawab Mba Nana

Deg. Anna sudah nggak kerja disini lagi. “Lho, emang kenapa Anna mba, kok berhenti?” Tanyaku sambil berdehem karena tiba-tiba saja suaraku tercekat

“Eemm. Anu, Mas. Apa.. Itu.. Dia mau kerja di dekat rumahnya biar nggak kelamaan ninggalin mamanya. Kebetulan toko buku di deket rumahnya pas buka lowongan juga.”

“Oh ya sudah, Mbak. Saya masuk dulu.” Aku sudah tidak fokus dengan jawaban Mbak Nana dan memilih untuk segera pergi.

Aku kembali ke kamar dengan hati penuh lebam. Aku sudah tahu jika Anna tidak suka denganku. Namun tetap saja, aku ingin sekali-kali bertemu agar hatiku tidak meronta, walaupun di saat bersamaan, jantungku berdegup kencang seperti habis lomba lari.

All I want is nothing more
To hear you knocking at my door
Cause if I could see your face once more
I could die as happy man I’m sure

Lagu Kodaline terputar secara otomatis di kepala. Aku sudah tahu jika Anna tidak suka denganku. Tapi sebelum hari ini, aku merasa masih punya harapan. Harapan bahwa suatu saat aku akan menjadi pria pemberani dan mengungkapkan perasaanku pada Anna, tak peduli ia akan menjawab apa.

Tapi Anna sudah pergi. Ya Tuhaaan apa yang harus aku lakukan?

When you say your last goodbye
I died a little bit inside
I lay in tears in bed all night
Alone without you by myside

**

Lima tahun berlalu sejak Anna meninggalkan cafe. Tidak ada yang berubah kecuali dua hal. Pertama, mama dan papa yang sudah mulai bawel untuk memintaku menikah. Kedua, aku mulai sering keluar kota untuk menghadiri undangan bedah buku. Ya, tanpa kusangka, buku pertama yang aku terbitkan secara mandiri laris. Bahkan siang ini, aku akan meluncurkan novel pertama sekaligus buku ketiga yang kali ini lewat sebuah penerbit ternama nasional. Ah, aku tiba-tiba merasa serupa Zainudin yang menjadi pujangga karena ditinggal Hayati.

“Acaranya di mana, Mas?” Pesan singkat dari mama masuk. Aku membalas dengan menyebutkan lokasi peluncuran buku.

“Maaf ya, Mas, mama dan papa nggak bisa dateng hari ini. Tapi mama udah bilang ke semua pelayan biar dateng ke peluncuran bukumu, Mas. Cafe sengaja mama suruh tutup hari ini. Pokoknya spesial deh buatmu! We Love You. ” Pesan dari mama masuk lagi

“Hh. Mama, buat apa sih..” Aku menggerutu dalam hati. Tapi, biarlah. Mungkin mamasaking bahagia karena novelku dilirik penerbit nasional.

**

Acara peluncuran novelku berjalan lancar. Novel ini memang berbeda dari biasanya yang kutulis. Novel sad ending. Tiba saat moderator membuka sesi tanya jawab, seseorang dari gerombolan siswa berseragam putih abu-abu bertanya, “Kak, kok novelnya sad ending,sih, Kak? Pengalaman pribadi ya, Kak?”

Pertanyaan itu  membuatku tercekat. Sudah lima tahun tapi perasaanku tidak berubah. Nama Anna tidak pernah bergeser seinchi pun dari tempat pertama kali ia kuletakkan.

“Eemm. Yaah bisa dibilang begitu.” Jawabku sekenanya yang langsung membuat gerombolan anak SMA itu ber-ciye ria. 

“Duh, anak SMA, seneng banget kalo udah baper-baperan gini.” Aku membatin sambil geli sendiri

“Kak, ceritain dong, Kak kisah cinta sad ending kakak. Sama kayak yang di novel nggak, Kak?” Anak lain di gerombolan itu masih memberondong pertanyaan

“Eem. Kisah sad ending saya, sudah lima tahun yang lalu. Saat itu, saya menyukai seorang pelayan di cafe milik mama saya. Tapi, tiba-tiba saja dia menghilang sebelum saya mengungkapkan perasaan saya.” Entah ada angin apa, aku menjawab pertanyaan itu dengan apa adanya. Ya! Apa adanya. Hal yang sudah lebih dari lima tahun aku sembunyikan dari siapa pun.

“Sekarang masih menyimpan rasa nggak, Kak?” Seseorang yang lain nyeletuk dari belakang

“Masih” Jawabku ringan terbawa suasana. Suara gerombolan anak SMA itu makin riuh rendah. Tapi di pojok lain, ada yang rusuh juga. Oh my God! Pelayan cafe mama! Bagaimana bisa aku benar-benar lupa kalau mama menyuruh mereka datang ke sini! Aih.

**

Beberapa hari setelah itu, aku ke cafe dan langsung disambut Mbak Nana. “Mas, anak-anak nanyain, siapa pelayan cafe yang dimaksud Mas Said pas di peluncuran buku kemarin.” Ujar Mbak Nana sambil nyengir

“Ish, apa sih, Mbak. Nggak usah dibahaslah. Haha.” Jawabku kikuk

“Anna ya, Mas?” Mbak Nana bertanya singkat. Aku hanya diam saja.

“Saya mau ngaku sesuatu Mas.” Tiba-tiba nada bicara Mbak Nana serius

“Ngaku gimana, Mbak?”

“Sebenernya, pas Bu Ennie nyuruh kita dateng ke peluncuran novelnya Mas Said itu, saya ngabarin Anna. Dan.. Anna dateng. Dia sengaja nggak duduk di acaranya Mas Said. Tapi dia menyimak acara itu dari awal sampe akhir, termasuk pas Mas Said bilang…” Saat itu, aku rasanya rela ditabrak kereta dan mati seketika daripada menerima kenyataan bahwa pengakuan atas perasaanku yang sederhana berubah menjadi serumit ini.

“Dan… Anna mengajak bertemu setelah itu, meminta saya ngasihin ini ke Mas Said.” Lanjut Mbak Nana sambil menyerahkan secarik kertas

Aku membacanya, mencoba menguasai diri lalu bertanya pada Mbak Nana, “Terus bagaimana?”

“Bagaimana apanya mas?” Mbak Nana bingung. Aku juga tidak tahu maksud pertanyaanku. Aku hanya merasa perlu mengatakan sesuatu untuk menetralisir perasaanku saat ini.

“Sebenernya Mas,“ lanjut Nana, “Anna dulu suka sama Mas Said. Tapi pas baca buku Mas Said yang ketinggalan dulu, Anna ngiranya Mas Said lagi jatuh cinta sama orang lain. Anna patah hati dan memutuskan keluar dari cafe. Katanya dia nggak akan kuat kalau tiap hari harus ketemu Mas Said.” Setelah lima menit berlalu tanpa satu kata pun keluar dari mulutku, Mbak Nana memutuskan untuk beranjak. Aku kembali membaca surat singkat dari Anna.

“Seandaikan aku tahu dulu kamu mencintaiku, aku pasti akan kuat seberapa pun beratnya. Seandainya dulu kamu berani memintaku, aku pasti akan bertahan. Tapi aku fikir, kamu tidak memahami cinta sejati. Sekarang, aku sudah menikah dengan orang lain. Lelaki baik yang mencintaiku karena kecintaannya kepada Tuhannya. Lelaki yang telah berhasil meluluhkan hati mama karena ketulusannya. Maka tidak ada gunanya kamu menungguku. Carilah perempuan yang baik. Semoga Allah melindungimu, Mas Said.”

Aku menahan nafas. Serpihan-serpihan yang kusebut cinta memudar, memendar, menghilang. Aku merasa ada yang salah dengan rasa seperti ini. Ah. Dia telah memilih jalannya. Aku, hanya lelaki yang bahkan tak mengerti arti cinta. Cinta yang bukan sekadar nafsu. Cinta yang bukan sekadar untuk diucapkan.[]


Rini-Mumu. 9 Oktober 2015 


*  Cerita ini hasil karya Rini & Mumu dalam Tantangan Duet OWOP dari RuNa 
** Sebenernya judul dari Mumu, “Terajam Diam”
***Cuma karena ini blogku jadi pake judul buatanku :D Pisss ya, Mumu

Kesejukan



adalah yang selalu kunantikan.

Sesak melesak dada hilang sirna.
Tergantikan dengan senyum ketulusan.



Crafty. 27 Oktober 2015

Sederhana



Menjadi orang yang sederhana itu baik banget ; nggak banyak ngomong, nggak banyak komen, sekalinya beraksi langsung keren. Itu yang dicontohkan Rasul, Dear…

Mungkin kita berfikir kalau kita udah mencontoh Nabi, padahal aktivitas kita aja banyakan maksiat daripada kebaikan…

Rasul itu… bukan hanya enggak melakukan perbuatan dosa, tapi juga punya sikap wara’, hati-hati dalam setiap hal.

Nah kita?? Udahlah nggak menjaga diri dari perbuatan dosa… tapi pede banget kalo kita udah yang paling keren, paling oke, pendapatnya paling bener. Wewwww

Coba deh renungin lagi Dear.. udah Seberapa lama sih kita kenal banget sama Islam. Nah udah seberapa banyak Islam yang kita amalkan? Atau cuma diomongin doang??

Jangan ngerasa hebat deh yah, :D Kalo kita aja masih males-malesan melakukan kebaikan. Enggak bersegera istighfar dan mohon ampun saat melalukan kesalahan…

Bukannya apa-apa, Dear. Aku khawatir aja nih, banyak orang yang kagum sama kita di dunia, tapi pas di sidrarul muntaha kaki tergelincir…

Percuma banget kann?? Jangan bangga kalo punya potensi sedikit atau pun banyak, wong Allah banyak melebihkan orang lain daripada kita kok dan melebihkan kita atas yang lain :)

Mending gini aja deh. Kita fair-fairan aja. Kalo emang Allah sayang ama kita, tenang deh, Allah pasti ngasih ujian kehidupan kok ke kita..

Kalo nggak ada ujian kehidupan gimana?? Hati-hati, Dear.. Bisa jadi Allah nggak peduli sama kita. Umar bin Khattab aja galau kalau nggak diuji Allah.. Nah kita?

Jadi sekarang kita sepakat yah? Untuk being honest sama diri sendiri… Nggak menodai diri dengan cara melukai orang lain. Nggak membohongi diri sendiri…

Dengan begitu, mudah-mudahan Allah ridho sama kita. Coba kita perbanyak aja deh kebaikan. Dan setiap yang buruk dan jelek-jelek kita minimalisir banget. Oce, Dear… ;)[]Crafty Rini Putri

Romantismeku


Aku mengadu
Segala hidup rapuh yang kujalani tanpa petunjukmu
Aku merasa jauh
Jauh…

Jiwaku sepi
Tanganku lunglai tak ada dayaku menggapaimu
Setelah dosaku
Tak sanggup ku melihatmu
Tak sanggup ku menghadapmu
Namun hati ini sunyi

Duhai
Apatah diri ini mampu bersandar padamu
Dikala tubuh pun senantiasa melupakanmu

Duhai
Kembalikan aku ke jalan itu
Gelapku harap cahya terang benderang
Kelamku ingin kuakhiri
Aku jenuh…
Hidupku sempit
Hidupku menghimpit
Hidupku tersengit.
Aku letih…

Duhai
Masukkanku ke dalamnya
Di ketinggian jagat ini
Di gemilangnya ruang itu

Duhai
Apakah imanku dapat kugadaikan untukmu
Untuk pertaruhanku menjemput kekasih
Kekasih yang selama ini tak jua kukenal dekat.
Oh!

Aku ingin menghampiri, berlari, dan melesat

Izinkanku
Merelai kepingan hati yang kerontang tanpa hadirmu
Duhai…
Pemilik cintaku
Apakah aku pantas mendapat kasihmu

Aku ingin memeluk cintamu dengan sungguh
Kan kupegang erat kesabaran
Demi cintaku cintamu

Dan aku
Tak lagi sungguh tak lagi akan melukaimu
Menyakitimu
Membuatmu cemburu karena perselingkuhanku

Apapun yang terjadi dalam hidup
Sedih dan nestapaku
Bahgia dan ceriaku
Aku meneguhkan kesetiaanku. Aku memilihmu untuk hidupku kini dan nanti..

Duhai
Inilah aku. Hamba yang mencintamu.[]Crafty Rini Putri

Kenalan dengan Ovarium Poliklistik





Ini perbandingan ovarium yang normal dengan ovarium poliklistik.

Banyak yang mengirim pesan pribadi, nanya apa itu poliklistik… 

Nah sekarang aku jelasin sedikit yah. Sedikit aja, :D

Poliklistik itu keadaan di dalam ovarium kita…

Kalau ovarium yang normal… terdapatnya folikel yang matang yang kelak siap menjadi bakal janin

Yap! Kita sering denger dengan nama sel telur yang telah dibuahi kan? Itu dia maksudnya ;-)

Trus, poliklistik yang kaya gimana?? Nah ini nih…sebuah keanehan yang terjadi dalam ovarium, Dear…

Bagi yang udah nikah, pastinya pengen yah punya anak? Sekarang mari kita bayangkan, Dear…

Gimana jika sel telur yang ada dalam ovarium.. itu tidak ada yang berhasil dibuahi karena beberapa sebab…

Akhirnya ovarium terdapat sel-sel telur atau folikel yang tidak matang. Keadaan ini bisa bukan hanya terdapat satu folikel, tapi banyak.

Inilah yang kemudian disebut poliklistik. Adanya banyak folikel tidak matang di dalam ovarium…

Keadaan ini membuat seorang perempuan yang sudah menikah sulit mengalami kehamilan…

Bisa jadi seorang perempuan tergolong subur, tidak ditemui penyakit2, tetapi jika keadaan ovarium seperti itu, dia akan sulit hamil.

Bagi yang belum menikah, waspadalah jika kamu haidh nya nggak lancar dan teratur…. karena itu bisa menjadi salah satu indikasi.

Maka buat yang belum nikah, jangan cepet2 bilangin orang mandul yah Dear…. bisa jadi dia mengalami Ovarium Poliklistik ini.

Trus solusi buat yang belum nikah apa dong?? Yaa banyak2 berdoa dan bersyukur… dan juga banyak jaga kesehatan, jangan ga peduli sama tubuh ya Dear.

Kalo kamu masih sekolah or kuliah or belum nikah, jangan cuma karna ga ada uang akhirnya makan mieee terus tiap hari. Itu bener2 bikin rusak tubuhmu.

Kecuali kalo kamu masak mie dengan cara sehat dan cuma sekali seminggu misalnya. Ini sih okee ;-) ({})

Jangan kebanyakan jajan juga. Kalo mau jajan milih2 makanan n milih2 tempat… Jangan jajan hanya karna kamu mupeng bakso di pinggir jalan…

Apalagi kalo kamu minum es trus es nya terbuat dari es balok yang biasa diterminalkan di tempat sampah en ditutup dengan kain kotor.

So jaga kesehatanmu Dear.. Sehat itu gampang n murah banget. Asal kamu nggak males. ({}) =-d

Nah buat yang udah nikah gimana? Kalo kamu sudah memiliki anak, bersyukurlaaah…. Nggak semua perempuan bisa gampang punya anak.

Coba tatap mata anakmu… betapa berharganya mereka… dia sangat spesial dan keren abis. Jadi jangan kamu banding2in sama anak orang lain yaa.

Buat yang belum memiliki anak… bersyukurlaaah pula, karena kamu punya suami. Banyak orang gak gampang punya suami lhoo…. =-)

Nah selain kamu harus ekstra jaga kesehatan juga, kamu mustinya melakukan langkah2 yang dianjurkan agar dapat memiliki anak..

Bisa tanya sama dokter. Atau tanyalah pada yang berpengalaman… gimana cara memiliki anak. Ini bs dipelajari insya Allah. Kecuali kl Allah memang berkehendak..

Bisa juga dengan minum smoothy… Jus wortel campur tomat dan apel malang. Insya Allah ini salah satu ikhtiar untuk punya anak. Dicoba ya Dear…

Doaku, semoga temen2 terhindar dari ovarium poliklistik… dan bisa segera memiliki anak saat waktunya tiba.[]Crafty Rini Putri

Kabut yang Terbalut




Sunyi
sepiku rindu.

haluan di lorong ini
laksana tepian tak berujung.
tak berbatas. tak bersuara.

Remang
naluriku buncah.

setitik cahaya yang menyibak aksara
mata terus menangis, di dalam hati yang parau.

Hujan
datanglah sejukkan aku.
asap telah pilukan hidup. lelahku, kesahku, hilang dimakan senyapnya udara.

oh Pagi.
antarkan aku pada indahnya kemilau mentari.
seraya tenggelamkan kabut yang terbalut.[]Crafty Rini Putri

Aurora, Mengalihkan Duniaku



Tunggu. Menunggu. Adalah kata yang banyak diucapkan orang dengan nada kesal. Tanpa perlu ditanya, seorang yang telah menunggu lama, biasanya akan bosan, malas, dan marah.

Benarkah setiap orang demikian?

Nyatanya di detik ini aku masih menunggu. Menunggu waktu bergulir pada giliranku. Menunggu momen ketika arsy berguncang karenanya. Menunggu… dia yang kelak merajai hati.

Aku, rasa-rasanya telah mati rasa. Bosan, malas, dan marah tak terpatri dalam dadaku. Di setiap fajar, aku bergegas untuk memilin sayur agar dimasak dan disajikan selagi hangat demi ibu dan bapak yang sudah menua. Di setiap 10 jam selanjutnya kuhabiskan waktu di kampus untuk menyelesaikan studi magisterku. Di sela 10 jam tersebut, kusigapkan diri dalam organisasi yang kugeluti sejak SMA. Dan di sisa waktu terakhir, kugunakan untuk membuka lapak strawberry yoghurt di babakan sekitar kampus.

Aku, hampir tak ada waktu untuk mengkhayalkan seorang gadis yang kelak jadi istriku. Juga tak membayangkan apa-apa selain kerja kerja dan kerja.

“Tapi Gun, namanya cowok itu ya maju duluan! Mulai duluan! Masa kamu mau nunggu cewek turun dari langit! Mimpi kamu!” Ya. Hidupku memang seperti mimpi. Siapa yang kira, anak seorang loper koran dapat melanjutkan kuliahnya? Siapa pula yang kira, sarjana sastra tapi membuka bisnis buah strawberry. Ah. Ucapan Doni teman sekelasku di magister yang sudah beristri satu beranak dua tadi hanya terdengar sumbang di telingaku.

Di 25 tahunku ini. Aku masih belum memikirkan wanita. Walau ibu dan bapak sudah mulai gusar. Mereka takut, anaknya yang seperti kulkas ini tak akan pernah jatuh hati. Tak akan pernah ada wanita yang mengalihkan hidupnya.

Selama 15 tahun terakhir aku hampir tak pernah kenal dekat dengan wanita. Satu-satunya wanita yang akrab denganku selain ibu hanya teman SD ku. Yang dulu, saat aku tak disengaja terpaksa duduk satu bangku di kelas. Untungnya… ketika itu aku belum baligh, sehingga aku tak perlu menanam benih-benih kasih cinta pada gadis yang sering kupanggil Uni itu.

Entah bagaimana kabarnya. Aku pun telah melupakan namanya. Seakan kata wanita adalah virus dalam otak, sehingga tak betah bertahan dalam memoriku.

Dan sekarang. Aku masih sama seperti siapapun yang mengenalku dulu.

Ibu dan bapak hanya pasrah. Toh pun mereka tak dapat berdaya banyak. Aku biayai sendiri kuliahku, makan minumku, bahkan segala kebutuhan rumah ini.

Tapi, aku kini lelah.
Entah mengapa, ketika aku melihatnya di sudut jendela tadi pagi, ada sesuatu yang lain melintasi hatiku. Entah apa itu. Namun aku tahu ini sesuatu yang belum pernah kurasa sebelumnya. Aku yakin ini berbeda dari diriku biasanya.

Dia perempuan.
Usianya seperti 5 tahun di bawahku. Aku menatapnya ketika ia menyemai padi di sawah dekat rumah. Aku baru melihatnya. Hari-hari sebelumnya hanya nenek tua sekitar 60 an tahun yang kulihat dari bilik jendela. Ini bukan nenek tua. Melainkan seorang gadis.

Keherananku berpangkal dari waktu yang seakan terhenti kala matanya memandang mentari di pagi itu. Dia tampak bagai bidadari turun dari langit. Sungguh! Aku hanya mampu melihat siluetnya dari sini. Siluet yang terbentuk bayang layaknya cahaya yang berpendar anggun dalam dinginnya atmosfer lintang tinggi. Ya! Aurora. Kemilau cahayanya yang terang menyerupai fajar di pagi hari…

Dan. Pagi ini mataku terbuka amat lebar. Gerak hatiku ikut menggerakkan kakiku melangkah ke arah kepastian. Aku bukan lagi pujangga yang tak jelas pada siapa hati beradu. 
Kini saatnya aku melihat dunia lebih lebar, lebih luas, lebih dari sekadar apa yang ada di selingkaran retinaku. Tak terelak lagi, bahwa aku butuh wanita. Aku sangat membutuhkan sosok itu. Hatiku kering dan amat terasa kerinduannya. Oh Gadis… aku ingin melihat duniamu, masuklah ke dalam duniaku ini. Agar kau tahu, arti kita adalah menyatukan duniaku dengan duniamu. Agar aku menjadi ksatria yang perkasa karena sentuhan lembutmu. Dan engkau, menjadi indah dalam sebuah perlindunganku.[]Crafty Rini Putri

24 September 2015
23.13

Dunia Kita Tak Sama


Kutatap wajahmu seperti cermin yang memantulkan adanya aku..

Ayah kita satu
Lahir dari rahim yang satu

Wajahmu…
Kupikir ada gurat kegundahan
Sedang wajahku… menyiratkan keteduhan

Apakah kau berpikir sebaliknya?

Aku merasakan detik-detik bersamamu adalah jutaan kilometer yang harus kutempuh untuk menjemput asa.

Inginku hidup sendiri tanpa bayangmu.
Inginku lepas bebas dari gelombang yang membandingkan dua nyawa yang berbeda raga.

Aku selalu menyangka diriku lebih baik darimu
Aku bahkan menertawakan keluguanmu.

Tapi kau bergeming dan selalu iba untuk mendekatiku.
Kukatakan, aku tak perlu kau kasihani!
Seperti tembok menjulang tinggi yang memisahkan antara jiwaku dan jiwamu.

Aku selalu ingin tak sama denganmu.

Salahkah?

Serupa tak harus seiya dan sekata.
Kita punya mimpi yang beda.

Dan aku, berharap kau berhenti menatapku pilu
Lebih baik kau genggam tanganku
Kau peluk erat tubuhku

Karna kita, punya jiwa yang tak sama namun hati kita masih bisa bersama.[]Crafty Rini Putri

Me in Forty Years Old



“Saya terima nikahnya… ‘Aisyah aamirah renhoran binti Muhammad…” pikiranku mengawang. Lelaki itu berujar mantap. Hatiku berdesir. Rasa haru, bahagia, sedih, dan sesak memenuhiku.

“Sah!” Tiba-tiba sudah kudengar kata itu. Oh… apakah aku harus senang setelah ini, atau apa, entah.

“Astaghfirullah… aku nggak boleh melangkahi takdir. Aku… gimana mungkin meragukan lelaki yang sekarang terpampang jelas wajahnya di depan bola mataku.” Desisku lirih.
Lelaki itu meraih tanganku, dikecupnya, lembut.

Ah. Mungkin beginilah rasanya. Sungguh berat melepaskan putri kecilku yang kutimang-timang semasa kecil, pada orang lain, lelaki asing, yang entah pun ia akan melakukan apa saja bersama putriku kelak.

“Ibunda… terimakasih telah mendidik istriku sejak dalam kandungan hingga dewasa, dan saat ini menjadi pendampingku dunia. Izinkan aku… Izinkan ananda… untuk muliakan ia kini, saat ku di dunia…sampai di akhirat nanti….” Janji sucinya padaku.

Dia bernama Muhammad. Sama seperti nama ayah putriku. Lelaki yang tampak sangat muda di usianya yang 25 tahun. Yang kudengar dari 'Aisyah, ia pengusaha industri alat berat. Alumnus S1 Teknik Elektro di ITB, S2 Teknik Elektro di ITB, dan sedang menempuh S3 Teknik Elektro di Jepang.
Dari perjalanan akademiknya, aku bisa membaca, lelaki ini mencintai ilmu dan pendidikan.

Tapi… putriku masih kuliah. Usianya masih 18 tahun. Aku mengenang 15 tahun yang lalu saat usiaku masih 25 tahun dan ia 3 tahun. Lucu dan menggemaskan. Hari ini ia gadis cantik yang melekat dengan segudang prestasi. Wajar memang, sudah 13 lelaki datang melamarnya.

'Aisy…. begitu aku memanggilnya. Ia sekarang ada perempuan yang mampu mewujudkan semua mimpi-mimpiku masa muda dulu. Ia seperti replika diriku. Ide-ide yang berkeliaran di otakku yang tertunda karna kesibukanku yang tak terduga pasca ku menikah, mampu ia genapkan. I’m so…. proud!

Hatiku menangis…
Terkenang masa-masa teberatku menjalani nikah muda sambil kuliah dan mengembangkan bisnis dulu kala.

Tapi, sebait kata yang terdengar hangat di telingaku, tentang sosok lelaki yang menantramkan, “Sang Ali” yang penuh ilmu, Lelaki tampan dan sangat mapan, di usianya yang sangat matang. Apalagi yang kuharapkan? Bukankah ini kebahagiaanku yang sempurna di usia 40 tahunku.

Oh andai. Diri ini bisa pandai-pandai lah bersyukur. 
'Aisyahku kini telah halal bagi seorang lelaki impian. Aku adalah ibu, mencintai putriku akan ada selalu dalam benakku.

***

Kubuka jendela.
Kuresapi udara menyeringai sendi-sendi tubuhku.
Menyapa setiap sudut-sudut rumahku.
Bingkai-bingkai foto di dinding-dinding seolah bergerak ikut dalam alun pikirku.
Bingkai foto aku sekeluarga di Mekkah. Saat momen aku berhasil menaikkan haji ibuku…nenekku… ayah dan ibu mertua… serta adik-adik dan kakak. Senyum yang tersimpul di sana amatlah syahdu.

Kuarahkan mataku ke ujung taman yang sejuk, air mengalir di kolam dengan gemericik. Di sekitarnya rusa dan kancil menghiasi indah dan asrinya nuansa.

Kualihkan pandanganku ke tepi lapangan olahraga di samping rumah. Dari bilik jendela kuamati suamiku asyik bermain basket dengan putra-putraku. Mereka tertawa lepas. Sesekali melihatku dan melambaikan tangannya.

Kuhirup sedalam-dalamnya udara hening ini, setenang-tenangnya.

Allah…
Aku ingin menangis.
Semua mimpiku tak satu pun terlewatkan oleh-Mu.
Aku ingin menangis.
Meratapi kebiasaan burukku dulu yang terkadang sulit untuk move on.
Aku ingin menangis.
Karena limpahan rahmat-Mu teramat amat besar untuk dibandingkan ujian-ujian yang Engkau beri padaku.

Aku… 
Di usiaku yang tak muda lagi ini, 40 tahunku…
Hanya tersisa satu mimpiku.
Hidupkanlah aku, untuk terus berbagi dengan mereka. Yang mungkin hari ini tak tidur karena sakit di perutnya, menahan rasa, lapar dan dahaga. Juga untuk mereka, yang ingin menikah namun tak cukup biaya…tak punya bakal calon pendamping. Serta mereka, yang gigih berusaha namun penghasilannya tak mencukupi, rela mengorbankan kuliahnya untuk menafkahi keluarha, rela menghabiskan malamnya bekerja untuk menghidupkan anak istrinya.

Kabulkanlah mimpiku di ujung usia tuaku ini… Membahagiakan mereka. Agar aku yakin, usiaku menua… namun umurku berkah.[]Crafty Rini Putri

Look Around





Terkadang yang kita rasakan dan lihat, tak semua bisa dihitung oleh nalar. Jangan selalu berfikir seperti rumus matematika.

Jangan berfikir, hidupmu akan slalu sesuai pikiranmu. Kamu akan menjadi dewasa ktika kamu berpijak di bumi tp matamu ke langit.

Egois itu penyakit. Kalau nyaman dengan sifat itu, lihatlah suatu hari akan ada masa egoismu memakan dirimu sendiri.[]Crafty Rini Putri

Party is Not Me, but I Love Me!


“Na, kapan sih aku bisa kayak kamu”
“Kayak aku?” Nana menggumam, dan melanjutkan,
“Apanya dari aku La? Aku cuma orang biasa ini. Aku tuh bawel, ceria, have fun, suka banget ngobrol apalagi sama orang yang baru kenal tuh hmmm asik dah. Trus apalagi. Aku cuma orang kayak biasa aja. Kan banyak orang kayak aku, La.” Ujar Nana berbalik menatap mata Lala yang berair.
“La… kamu kenapa?” Nana tiba-tiba duduk di depan Lala.
Lala menelungkup. Hening dengan isaknya. Nana bergeming.
##
Mentari tak lagi terik. Sinarnya temaram. Tenggelam di bawah relung-relung hati Lala.
Senja ini Lala berniat pergi ke suatu tempat. Tempat yang belum pernah dikunjunginya sebelum ini. Tempat yang, mungkin sangat berbeda dengan kepribadiannya.
Tatapan Lala kosong.
Dan. Chiiiiiiiiiiiiiit…… Tiiiiiiiiiiiiin…..
Lala membanting setir.
Kaku. Tangan Lala dingin.
Tok tok.
Lala menoleh.
“Hey, are youuu okay?”
Lala membuka kaca mobil.
“Mm maaf.” Hanya itu yang keluar dari bibir kecilnya.
Perempuan itu tersenyum simpul.
“Gapapa Dek. Kamu mau ke mana?”
Ia memakai syal, pakaiannya cozy. Lala tergerak keluar mobil.
“Maaf ya Kak..” ujarnya mulai sadar.
Dhuarrrrrr! Chiuuuuuuuuuu! Dhuaaaarrrr!!!
Tiba-tiba dibalik alun-alun kota riuh.
“Dek, ke sana yok!” Wanita itu mengambil motor maticnya, dan mengajakku santai.
“Orang ini baru kenal udah ngajak-ngajak aja. Ga pake marah-marah. Hmmmmh.” Batin Lala
“Ayo Dek… aku pengen jalan aja. Kalo kamu mau..” senyum simpulnya kembali menyeringai.
Lala menatap langit-langit.
Selangkah kaki mengikuti gerak wanita yang berumur namun muda.
“Namaku Nana.”
“Whats?!!”
“Iya namaku Nana. Aku fotografer Majalah.” Ulangnya. Lala merasakan kepalanya berat berputar. Ia mencari-cari memori di otaknya tentang seberapa banyak nama Nana bertengger. Lala senyum kecut.
“Kak, kenapa lo ngajak gue liat ginian? Kan kita baru kenal,” tanyaku akhirnya berani.
“Mmmm…. enggak ada apa-apa sih. Aku cuma suka aja. Dan yah mungkin aja kita bisa jalan bareng.” Ucapnya datar tanpa beban
“Tapi kan tadi gue dah bikin lo kaget di jalan…” Wanita itu tak menjawab selain senyum simpulnya.
“Kak, kenapa sih nama lo Nana?” Kalo ini ia bergidik. Merasa aneh ditanya.
“Emang kenapa?”
“Hmmmhf.” Lala hanya menghela nafasnya berat.
“Ada masalah?”
“Mmmm… gue… gue ngerasa trauma aja sama nama itu. Gue banyak kenal nama Nana. Yang gue tau, mereka selalu bikin gue illfeel.” Lala menghela nafasnya lagi.
“Kalo boleh tau kenapa illfeel Dek?”
“Hmmf. Ga tau Kak. Mereka selalu aja the best. Cantik, kaya, dan pinter. Banyak temen pula. Party sana party sini. Sedang gue?! Ish…” Lala sangat berekspresi.
“Yah, itu kan mereka Dek. Kenyataannya kamu kan nggak sama dengan mereka.” Lalu cemberut mendengar ungkapan jujur Nana.
“Kok Kaka gitu?!!” Lala melengos.
“Dek, kamu ya kamu. Ngapain harus jadi mereka yang….”
“Tapi mereka selalu jadi Ratu Party. Mereka selalu pamer ke gue! Mereka ngajak gue kembang api lah apa lah. Gue gak pernah bisa!” Kini Lala setengah teriak.
“Kenapa?”
“Ya karna gue trauma! Gue trauma pesta! Gue trauma kembang api! Gue trauma kongkow! Gue trauma semua!! Gue trauma!!!” Lala berapi-api, menyambar muka Nana.
“O..oke Dek. Kamu udah lebih dari lima kali bilang trauma. Apa yang bikin kamu trauma Dek. Its fine, you do what you want Dek.” Ujar Nana berusaha tenang.
“Tapi gue enggak!!! Gue ni anak kampung! Gue anak cupu! Gue cuma bisa dikerjain doang sama mereka!! Dan gue dipingit sepanjang hari!” Lala masih teriak
“Yang kamu maksud dengan mereka siapa? Nana? Ada berapa Nana?” Wanita itu tertegun.
Lala diam. Berfikir.
“Dek…?”
Lala menoleh.
“Apa dia cuma satu orang?”
Lala mengangguk.
“Kamu… bersahabat dengannya, dan kalian berbeda karakter. Dia lebih diterima oleh orang, dan kamu enggak. Begitu?”
Lala menunduk.
“Lihat langit itu Dek. Lihat di balik alun-alun ini. Pancaran kembang api ini cuma benda. Cuma barang. Dan party cuma kejadian. Sedangkan kamu, kamu punya segalanya.” Nana merangkul Lala.
“M..maksudnya?”
“Yes, just be you Dek. You are so beautyfull with yours. Just be the best in you.” Ucapnya tegas.
Lala menunduk. Dalam. Airmatanya jatuh. Ia mengangkat kepalanya perlahan. Menatap langit-langit yang indah. Terpejam.
Rangkulan Nana menambah kehangatan hatinya.
Matahari sudah padam.
Namun cahyanya kini ada di dada.
Menyibak mendung.
“Just be you. Becouse, you love yourself!” Kata-kata terakhirnya di malam itu.[]
Crafty Rini Putri
#OneWeekOnePaper

Cinta Saja Tak Cukup

Hidup ini selalu berbicara tentang pilihan. Tiap pilihan yang diambil adalah keputusan yang terbaik menurut kita.
Menikah dengan orang yang kita cintai atau tidak adalah pilihan. Namun, mencintai orang yang telah menikah dengan kita adalah keniscayaan.
Cinta, sering orang mengatakannya sebagai energi kehidupan. Jika tak ada cinta, hidup berlalu seperti air yang mengalir entah ke mana. Ibarat masakan tanpa garam. Hambar.
Karenanya, cinta sebagai asupan bagi tubuh kita jangan disepelekan. Tanamlah ia dengan akar yang kokoh. Iman. Hingga lesakannya mampu seimbangkan nada cinta. Semailah ia dengan buah yang ranum. Karakter. Hingga lezatnya dapat warnai cinta.
Milikilah iman dan karakter untuk mengiringi cinta yang suci. Yang indah dan mengindahkan. Yang membahagiakan dirinya dan diri orang yang dicintai.
Ini kunci sebuah pernikahan.
Cinta adalah energi. Namun tanpa iman, energi ini akan negatif, ibarat sampah yang kian membusuk. Jika tanpa karakter, cinta akan mati, dan keegoisan menjadi sebab kematiannya.
Cintailah suami dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Karena iman ini menuntun untuk mencinta sosok yang banting tulang menafkahi kita.
Cintailah ia dengan kelembutan sanubari.
Perangai kita adalah penyejuk bagi suami. 
Dan penyemai cintanya ada pada karakter kita yang sentiasa anggun bak permaisuri.
Membangun keluarga dengan cinta adalah sebuah keniscayaan. Adalah wajib menanamnya dengan iman kuat, dan menyemainya dengan karakter yang menentramkan.[]
Crafty Rini Putri
dalam Giveaway @supermom_w

Jangan Sombong! #YukMoveOn


Orang yang sombong, mungkin banyak temannya. Lantaran dia suka menunjukkan kemampuan dirinya. Tapi jangan salah...
Membanggakan diri sendiri, itu namanya UJUB.
Memamerkan keahlian sendiri, itu namanya RIYA.
Menceritakannya, itu namany SUM'AH.
Menggagungkan diri sampai lupa Allah, itu namanya TAKABBUR.
Kalau Sombong?
SOMBONG adalah... sikap tidak mau atau sulit menerima kebenaran dan meremehkan orang lain.
Nah, ini semua se anak turunan.
Why?
Karena Orang yang sulit menerima kebenaran, biasanya sulit dinasehati... Ngerasa bener terus... atau Ngerasa nggak rela jika disalahkan.
Ujung-ujungnya dia akan mudah sekali meremehkan orang lain.. Terutama jika orang tersebut nggak sependapat dengannya. Juga jika orang tersebut mengkritik dirinya.
Orang yang kaya gini, dia berfikir bahwa dirinya punya sesuatu yang Huebat. yang sehingganya nggak semua orang bisa dengan mudah menasehati dia. Inilah yang dinamakan Ujub...
Lantas, ketika dia selalu merasa bisa.. selalu merasa orang besar.. selalu merasa sebagai orang yang harus dihormati....
Saat itulah, ia mulai memamerkan kemampuannya kepada orang lain. Bisa dengan cara menunjuk dirinya sendiri atas jabatan, amanah, atau kesempatan emas tertentu.. Ini Riya..
Kalau sudah begini, biasanya ia juga akan mulai belajar untuk menceritakan pada orang lain tentang keutamaan-keutamaan dirinya (dibanding orang lain). Menceritakan bahwa dirinya bisa itu.. itu juga bisa.. nah yang itu jago.. itu apalagi.. begitu seterusnya. Di situlah ia menjadi Sum'ah.
Terakhir....
Saat ia sudah sampai di titik ini, sulit baginya untuk tidak Takabbur. Bahkan kadang, dia ngga merasa butuh Allah! Karena tanpaNya.. ia bisa melakukan sesuatu dengan beres... lancar, dan menyenangkan.
Dear...
Kadang, tanpa disadari ya.
Kita masuk dalam golongan orang sombong. Kita jadi bebal jika dikritik sama orang lain. Padahal? Apa salahnya mendengar masukan orang? Melukai hati kita? Come on.... Perasaan itu hanya hadir sebentar doang. Yang untung kita.
Orang lain; entah itu ortu, sahabat, pasangan hidup, atau bahkan guru kita, ketika mereka mengkritik kita, mereka Nggak Dapet Apa-apa!
Malah kadang mereka yang harus punya perasaan dongkol dulu... Gemes dulu... Kesel dulu... Marah dulu... atau bahkan benci dan dendam...
Itu semua perasaan-perasaan nggak enak yang udah mereka korbanin demi menasehati kita...
Sebagai orang yang dikritik, sudah sepantasnyalah kita Legowo...
Nggak perlu berfikir bahwa orang lain nggak mengerti kita. Orang lain bisanya nyari kesalahan kita.. Orang lain bisanya mengkritik, ngelakuin sendiri belum tentu bisa.
Hmm...
Dear,, apa kamu nggak merasa sakit dengan perasaan seperti itu??
Ayolah...
‪#‎MoveOn‬.
Dan tentu, jika kita menjadi orang yang gampang nerima kritik dari orang, bahkan berterimakasih.
Kita akan belajar untuk meminimalisir ke-UJUB-an diri. Karna kita telah bertransformasi menjadi orang yang senang belajar...
Orang yang suka belajar dan selalu bertumbuh, adalah orang yang senang mendengarkan orang lain. Baik itu pendapat yang sepakat, atau yang bertentangan.
Dengan begitu, ia akan berfikir bahwa dia punya kemampuan, tapi orang lain juga punya. Dia bisa mengerjakan sesuatu dalam bidang tertentu yang mungkin orang lain nggak bisa, tapi ada bidang lainnya yang dia sama sekali nggak ahli.
and next, dia pantang memamerkan keahliannya. Apalagi menceritakannya pada orang. Dia malu. smile emoticon
Makanya, dia nggak akan mungkin berani jadi orang yang takabbur. grin emoticon
So Dear....
Sahabatku yang sangat kucintai....
I Love You So So Much.
‪#‎YukBertumbuhBersama‬
heart emoticon
Yours,
Crafty Rp.