Phinisi, Inspire to Stand Up!


Belajar dari nol.
Belajar mengejar visi dengan mata yang lebih jernih.
Belajar meresapi angin, cahaya, dan langit yang indah.
Belajar tetap tegap tegar walau badai sekencang apa pun.
Belajar kokoh walau pasukan melemah.

Kita bukanlah Sang Nahkoda, percayalah sejatinya Nahkoda itu adalah Allah azza wa jalla..
Siapa pun yang Allah percaya untuk mengendarainya, kita memiliki peran yang tidak perlu dipandang hebat. Yang lebih penting adalah kita memiliki peran yang baik. It’s enough, isn’t it?

Kita ada untuk saling menguatkan, bukan?
Seperti kata Soron dalam Legend of Guardian, “Mengguatkan yang lemah..”
Itulah salah satu tugas kita.

Kita hanya perlu berfikir baik. Bila itu dipandang aneh, asing, dan terlalu idealis, bisikkan dalam hati, wakafa billaahi syahiida.. Toh, Allah yang melihat, bukan manusia.
Sampai kita bisa memastikan, kita telah ambil bagian dalam perjalanan panjang ini.
Layar telah membentang, angin pun semakin berderu, mungkin badai kan datang, lalu apakah kita akan tetap saling mengandalkan? Atau saling menyalahkan atas buruknya kinerja? Atau malah memilih berdiam diri karna perjuangan ini terlalu pahit dan menyesakkan?
Maka, bila kita telah merasa sadar, rasakanlah angin itu.. cahaya itu.. langit itu..
Orang-orang yang sadar, adalah yang menggunakan hidayahnya, akalnya, senjatanya, tangan dan kakinya. Dialah yang harus menjadi penggerak!

Tenang saja, kita memiliki dramaga untuk bertengger dan mengumpulkan amunisi yang hampir habis; dalam tafakkur kita, dalam sujud kita, dalam keheningan malam.. kepada Sang Maha saja kita bisa melepas kegersangan, bahkan kekerontangan..

Sejarah mengukir sebuah kapal nan anggun dan megah.
Phinisi.
Bahwa hanya dengan bersahabat dengan alam, kita mampu membebaskan alam.
Kita menatapnya, kita mengenalnya, kita menghargainya, kita meresapi dan menikmati setiap geraknya, kita memberinya perhatian lebih, kita mewarnainya dengan energi positif..
Bila Phinisi, anggun dan megah dalam sejarah,
Kita, anggun dan megah, bukan untuk sejarah, melainkan hanya karena Allah..!

Sampai fajar pun ramah menemani kita, menyambut kemilau sesungguhnya..

Ah, rasa-rasanya Khilafah kian dekat.
Dekat di hati, lekat dalam ingatan, dan sesaat lagi.

Tidakkah engkau merasakan kerinduan ini telah memuncak, Saudaraku?
Lalu mengapa tak Kau gadaikan seluruhnya untuk kemenengan dinn ini?

Syahdu, mengalir indah Al-imran : 159,
Fa idzaa azzamta, fatawakkal ‘alallah….

Allahua’lam.

Saudarimu, menunggumu, menyambutmu, dan selalu bersamamu dalam perjuangan ini, insyaAllah!
Crafty Rini Putri


on Tuesday, August 9, 2011 at 4:35pm

FERVEUR!



Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya di hari kiamat, yaitu; manusia yang mencabut selendang Allah. Sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah al-izzah (keperkasaan); manusia yang meragukan perintah Allah; dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah.
[hr.ahmad, ath-thabrani, al-bazzar]

Ukhti, tawadhu'lah. Tundukkan setiap jengkal kelebihan dengan sikap ridha pada Allah. Ingatlah tentang sebuah hadits riwayat an-nasai dan abu dawud, bahwa sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal kecuali amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan dilakukan karena mengharap ridha Allah semata.

Ukhti, bersegeralah. Tunaikan kewajiban-kewajibanmu. Sebelum datang masa tuamu, masa sempitmu, masa miskinmu, masa sakitmu, dan kematianmu. Lakukanlah saat ini juga, tanpa disuruh, tanpa mengeluh. Resapilah an-nisaa' ayat 65.

Ukhti, tetap tegarlah. Saat ini engkau belum menemui badai halilintar. Yang baru tampak di depan matamu adalah riak-riak kecil yang bisa engkau sapu dengan ketawakalanmu. Ingatlah ukhti, hidup dan perjuangan ini layaknya seleksi alam. Siapa saja yang kurang lurus niatnya, kurang ikhlas, tidak kuat, dan berharap pada selain Allah, maka ia akan terdampar, tersingkir dengan sendirinya tanpa permisi, seperti dedaunan lapuk yang menggugurkan dirinya sendiri.

Apakah kita masih mau melakukan yang kecil dan remeh temeh untuk hidup dan perjuangan ini??
Apakah kita akan terus meminta kasih sayang dan perhatian orang lain namun tak sedikit pun kita menebar kasih sayang di antara kita??
Apakah kita akan berteman dengan para pendosa, yang sehari-harinya tertawa, bahkan terbahak-bahak, padahal gunung dosa hampir menutupi wajahnya??
Apakah kita rela menjadi yang biasa-biasa saja, padahal energi yang membuncah dalam dada dapat meletus bak kilatan pedang yang menghunus kekufuran??
Apakah kita akan terlalu banyak bicara dan bertanya, namun NOL dalam tindakan??
Apakah kita akan terus ber'teori-teori, namun enggan dan sekedarnya saja dalam implementasi??
Apakah kita suka jadi pecundang daripada pemenang??
Apa yang engkau tunggu, saudariku....??
Mengapa tak kau genapkan ikhtiarmu, dengan kekuatan mabda'mu, dan sujudmu di sepanjang malam..?
For my team..FERVEUR..
Fajar ini, sedemikian indah untuk dilewatkan tanpa energi! Semangatlah menjemput ridhaNya!
Bergegaslah!
CARPE DIEM!!!

on Tuesday, October 18, 2011 at 12:15pm

inspirasi dari Al-fatih



salamun'alaikbimaashobartum.
ikhwahfillah,
tadi, saat nonton film sang penakluk konstantinopel, diri lemah ini semakin merasakan kelemahannya di hadapanNya..
Muhammad Al-Fatih II berjihad atas nama Allah, ia tidak pernah bosan mengingatkan pasukan terbaiknya dengan kalimat-kalimat penuh hikmah,
"Wahai pasukan terbaik! Jangan mulai langkahmu tanpa Dzikrullah, Bersabarlah dan Allah bersama kita! Siapkan diri kalian menjadi pilar2 Agama Allah!" 
Pasukan terbaik yang tak pernah lewat sekali pun shalat fardhu itu menjawab perintah Al-Fatih dengan tersenyum dan berkata,
"Tak ada pilihan lain, selain ta'at dan patuh."
Saat waktu bergulir, dan kemenangan pun belum berpihak pada kaum muslimin, Al-Fatih mengingatkan kembali pasukan terbaiknya,
"Musuh terbesar kita adalah dosa-dosa kita sendiri! Wahai pasukanku, yang aku takutkan adalah dosa-dosa kalian! Saudara-saudaraku, bertaubatlah kepada Allah. Allah pasti menolong Kita "
Begitulah Al-fatih membangkitkan pasukannya. Al-fatih juga menyemangati dirinya sendiri,
"Waktu belum berpihak pada kita, tapi aku tidak akan pernah membiarkan musuhku bernafas lega!"
Ikhwahfillah..
Kita, penerus risalah Muhammad SAW, para pembebas dengan cahaya Islam di tengah kegelapan,
yang tak lepas oleh khilaf karena kita hambaNya yang lemah, maka alangkah baiknya saling memaafkan atas kesalahpamahan yang pernah terjadi, lalu kita bertaubat bersama pada Dzat Yang Maha Pengampun.
Akhirnya, serupa dengan do'a Al-fatih,
"Ya Allah taklukkan Indonesia di tangan kami, kabulkanlah permohonan kami wahai Dzat Yang Maha Pemurah..."
saudarimu,
Crafty Rini Putri
Bogor, 5 Juni 2011

Kembalikan Senyum



Bukan susah. Tapi kadang sulit sekali bagi beberapa orang untuk tersenyum. Tidak dipungkiri, hidup di zaman ini penuh dengan kemelut masalah. Wajar bila kemudian membuat wajah menjadi murung dan tampak sedih. Bagaimana tidak? Bila baru sejenak melangkahkan kaki keluar rumah saja sudah bisa menemui kemaksiatan di depan mata, misalnya dua anak muda yang mojok di pinggir jalan sedang pacaran. Bila bibir kelu untuk langsung menegur, maka wajah pun menjadi tertunduk, dan istighfar dalam hati. Bagus bila langsung bisa menegur bahwa perbuatan tersebut tidak layak dilakukan mereka, terutama bila mereka muslim. Karna sebaik-baik kita, bila ketika melihat kemungkaran, kita mampu mengubahnya dengan tangan, bila tak mampu kita mengubahnya dengan lisan, bila tak mampu juga, maka mengubahnya dengan hati, tapi yang terakhir ini adalah selemah-lemahnya iman seorang mukmin.
Ini baru satu alasan mengapa mudah sekali bagi kita untuk murung atau menampakkan wajah sedih. Belum lagi bila bangun tidur kita mengingat bagaimana kondisi saudara-saudara kita ummat Islam di Timur Tengah yang mungkin disaat kita tertidur, mereka tak mampu melekatkan matanya karena selalu dalam keadaan was-was bila ada bom nyasar, misalnya.
Selain itu, tumpukan permasalahan, baik seputar pribadi, keluarga, atau hubungan pertemanan dan persaudaraan, kadang juga membuat kita enggan dan mati rasa untuk tersenyum dengan setulusnya.
Baik, bila alasan untuk cemberut lebih banyak daripada untuk tersenyum, maka sebaiknya kita merenungkan kembali tuntunan dari pribadi paling mulia di dunia ini, Rasulullah. Abdullah bin al-Harits bin Jaz’in ra berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang paling sering tersenyum selain Rasulullah.” (HR. Tirmidzi).
Rasulullah juga amat menyukai orang yang tersenyum, dan selalu mencontohkannya kepada siapapun. Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali ra, ia berkata, “Rasulullah tidak pernah melihatku kecuali selalu menyertainya dengan senyuman.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karenanya, masalah boleh datang bertubi-tubi, namun wajah tak boleh mengikuti rumitnya masalah yang ada. Justru sebaiknya semakin kusut benang masalah yang kita hadapi, semakin kuatlah alasan kita untuk tersenyum. Bukankah semakin beratnya masalah atau ujian adalah pertanda semakin kuatnya agama seorang mukmin? Rasulullah bersabda, ”Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi. Kemudian baru orang-orang yang lebih rendah derajatnya, berurutan secara bertingkat. Seseorang diuji menurut kadar agamanya. Jika ia kuat dalam agamanya, maka ujiannya akan sangat berat. Dan jika ia lemah agamanya, maka ia akan diuji Allah sesuai tingkat ketaatannya pada agamanya. Demikianlah bala’ dan ujian itu senantiasa dilimpahkan kepada seorang hamba sampai ia berjalan di muka bumi tanpa dosa apapun.” (HR. Tirmidzi).
Tersenyum, adalah tanda kebahagiaan seseorang. Semakin sering ia tersenyum, semakin indah wajahnya untuk dipandang. Pernah kita melihat senyum seoang bayi yang polos, tulus tanpa beban? Lucu sekali bukan? Sungguh mengenakkan melihat senyum seperti ini pada setiap saudara-saudara kita.
Dan jangan salah, senyum sedikit berbeda dengan tertawa. Karena banyak juga di antara kita yang menyatakan semakin banyak tertawa itu sebagai tanda semakin bahagianya seseorang. Tunggu dulu, jangan terlalu terburu-buru menyimpulkan. Mari kita lihat bagaimana petunjuk dari uswatun hasanah kita, Rasulullah. Jabir bin Samurah ra menyebutkan kuantitas tertawa Rasulullah sebagai berikut, “Sesungguhnya Rasulullah adalah orang yang banyak diam dan sangat jarang tertawa.” (HR. Ahmad).
Lalu bagaimana bentuk tertawanya Rasulullah? Siti Aisyah ra pernah berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah tertawa hingga terlihat uvulan (bagian langit-langit yang menonjol ke bawah) dan aku hanya melihatnya tersenyum saja.” (HR. Bukhari).
Abdullah bin al-Harits bin Jaz’in juga pernah berkata, “Saat Rasulullah tertawa, beliau tidak pernah melakukannya kecuali hanya (sebatas) tersenyum.” (HR. Ahmad).
Seperti diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, jelas mengapa Rasul jarang sekali tertawa dikarenakan hal ini, “Dan sedikitlah tertawa, karena terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi)
Hal serupa juga disampaikan oleh Al-Mawardi rahimahullah, beliau berkata, “Sesungguhnya membiasakan diri dengan terlalu banyak tertawa dapat menyimpangkan dari perkara-perkara penting. Tertawa juga akan menghilangkan kesadaran akan bencana dan kedukaan. Orang yang melakukannya bukanlah orang yang mulia dan berwibawa dan juga bukan orang yang sadar akan bahaya serta kemuliaan diri.”
Dari sini, semakin jelas bagaimana cara paling baik kita menghiasi wajah kita. Ya, dengan tersenyum. Karena hati yang sakit akan menjadi sembuh dengan keindahan senyuman. Bukankah masih banyak masalah-masalah ummat yang membutuhkan tangan kita untuk menghilangkan segala kesedihan mereka? Dan bukankah penderitaan kaum muslim saat ini hampir-hampir memakan habis senyum mereka? Tak inginkah kita melihat senyum mereka kembali lagi merekah?
Maka, warnailah hidup kita, hiasilah perjuangan ini, dengan senyum keindahan yang mampu merengkuh banyak hati untuk kembali pada Syari’ah, yang mampu menyentuh setiap orang untuk mau berjuang bersama kita menegakkan kalimatullah di muka bumi ini, dengan tegaknya Khilafah ar-Rasyidah. Sekarang, mari kita periksa wajah kita masing-masing, masihkah ia digumuli oleh air muka kesedihan dan kemurungan? Selalu ingatlah kita pesan Nabi, dan selalu ingatlah kita pada ummat yang membutuhkan ketulusan kita. Jadikanlah agama ini sebagai rahmat bagi siapapun yang kita temui. Jangan sampai karna wajah kita yang kurang enak dipandang, orang lain jadi menjauh dari kita, tidak ingin mengenal Islam yang penuh rahmat. Na’udzubillah..
Walaupun terkesan remeh, tapi ini juga mempengaruhi kualitas hidup dan dakwah kita. Mari kita simak sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu dzar ra bahwa Rasulullah telah bersabda, “Jangan pernah meremehkan kebaikan, walaupun (hanya) bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.” (HR. Muslim).
Sesuatu bisa saja menjadi remeh hanya karena anggapan kita. Maka agar ia tak remeh, mulai sekarang marilah kita belajar untuk menghargai segala sesuatu, sekecil apapun itu. Termasuk membiasakan diri untuk tersenyum, menyambut setiap semakin beratnya ujian hidup dan perjuangan kita! Mari kita kembalikan senyum ummat kembali merekah menyongsong kehidupan damai bersama Syari’ah dan Khilafah. Wallahua’lam.

12 April 2012

Etika Menjenguk Orang Sakit

Setiap manusia pasti pernah merasakan sakit. Kondisi disaat tubuh lebih lemah dari biasanya. Aktivitas manusia terus ada, hidup pun terus berjalan, namun tak lepas dari ujian. Ujian ini sudah merupakan sunatullah kehidupan. Sakit adalah ujian. Manusia akan diuji dalam kehidupannya, dengan perkara yang tidak disukainya, atau perkara yang menyenangkan.

Allah berfirman dalam surat Al-Anbiyaa’ ayat 35,

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”

Terdapat hikmah yang banyak di balik berbagai ujian. Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah Ta’ala jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberi mereka cobaan.” (HR. Tirmidzi). Dalam riwayat lain disebutkan, “Penyakit merupakan cambuk Allah di bumi ini, dengannya Dia mendidik hamba-hambaNya.”

Sakit tak hanya berdampak pada orang yang menderitanya. Namun bagi keluarga, saudara, dan (mungkin) temannya juga. Merekalah yang merawat dan mengusahakan kesembuhannya, yang tak kalah besar pahalanya. Bila sabar dan ikhlas menyimpan pahala bagi penderita sakit. Maka bagi keluarga, saudara, teman, atau orang lain, pahala tersebut ada ketika menjenguk orang sakit.

Diriwayatkan dari hadits Tsauban yang marfu’ bahwa Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya apabila seorang muslim menjenguk orang muslim lainnya, maka ia berada di dalam khurfatul jannah.” Dalam riwayat lain ditanyakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah khurfatul jannah itu?” Beliau menjawab, “Yaitu taman buah di Surga.”

Subhanallah. Menjenguk orang sakit adalah perbuatan baik. Ia merupakan bagian dari akhlakul karimah. Tindakannya pun dipuji oleh malaikat. Berikut hadits yang menjelaskannya,

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tiada seorang muslim yang menjenguk orang muslim lainnya pada pagi hari kecuali ia dido’akan oleh tujuh puluh ribu malaikat hingga sore hari. Dan jika ia menjenguknya pada sore hari, maka ia dido’akan oleh tujuh puluh ribu malaikat hingga pagi hari. Dan baginya kurma yang dipetik di taman Surga.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata “hadits hasan”)

Dalam Islam, menjenguk orang sakit, tidaklah patut mempertimbangkan latar belakangnya. Apapun warna kulitnya, sukunya, miskin atau kaya, cantik atau kurang cantik, pintar atau kurang pintar, nenek-nenek atau masih muda, mahasiswa atau lulusan SD, bahkan yang berbeda agama sebaiknya dijenguk. Karena ianya amal kemanusiaan yang dalam Islam dinilai sebagai ibadah. Bahkan aktivitasnya disebut qurbah (pendekatan diri kepada Allah). Sebagaimana hadits qudsi, Allah berfirman,
“Wahai manusia, si fulan hambaKu sakit dan engkau tidak membesuknya. Ingatlah seandainya engkau membesuknya niscaya engkau mendapatiKu di sisinya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Maka wajar, Nabi pernah bersabda,
“Siapa yang menjenguk orang sakit, maka berserulah penyeru dari langit (malaikat), ‘Bagus engkau, bagus perjalananmu, dan engkau telah mempersiapkan tempat tinggal di dalam Surga.” (HR. Ibnu Majah diriwayatkan dari Abu Hurairah)

Dengan demikian, penting untuk diperhatikan etika (adab-adab) ketika menjenguk orang sakit.
-    Sebutlah identitas diri yang jelas. Jangan menyebutkan identitas yang kurang jelas, sehingga membingungkan bagi orang yang sedang sakit.
-    Berkunjung di waktu yang tepat. Jangan datang di waktu orang sakit sedang beristirahat, sedang waktunya tidur, minum obat, atau mengganti pembalut luka misalnya. Jangan pula terlalu lama di tempat orang sakit. Bisa jadi penderita sakit membutuhkan banyak waktu untuk istirahat. Ini terkecuali bagi yang memiliki hubungan khusus dengan penderita sakit.
-    Jangan banyak bertanya. Sangat baik bila pengunjung tidak mengobrol sendiri. Apalagi mengajukan banyak pertanyaan, yang akhirnya membuat penderita sakit kelelahan. Hendaknya pengunjung menampakkan rasa kasih sayang dan belas kasihannya.
-    Mendo’akannya dengan ikhlas. Ada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda,
“Siapa yang menjenguk orang sakit yang belum tiba ajalnya, lalu ia mengucapkan do’a ini di sampingnya sebanyak tujuh kali: (Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung, Tuhan Pemilik Arsy yang Agung. Semoga Dia berkenan menyembuhkanmu), niscaya Allah akan menyembuhkannya dari penyakit tersebut.”
Dianjurkan pula membacakan do’a sakit: Allahumma Ya Rabbannaasa adzhibil ba’tsa wa asyfi wa anta syaafi laa syifa a illa syifauka syifa an laa yughadiru saqama.. (Ya Allah, Tuhannya manusia, hilangkanlah bahaya. Sembuhkanlah. Hanya Engkau yang dapat menyembuhkan. Tiada kesembuhan kecuali dariMu. Sembuh yang tidak dihinggapi penyakit lagi.)” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)
-    Menimbulkan optimisme kepada orang yang sedang sakit. Saat menjenguk, anjurkanlah untuk berlaku sabar. Karena sabar itu besar pahalanya, sedangkan berkeluh kesah itu dosa.
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَ
Laa Tahzan! Innallaahama’ana..
“Janganlah kamu bersedih. Sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At-Taubah : 40).

12 April 2012

choose now

in the name of Allah..
to initiate an action, what we need? this is when we start out with one commitment. 
how strong intention to act now, that's what determines our lives. most people procrastinate their activities, they get lazy as the day is so long and there is plenty of time to rest at any time. procrastinators real action is on hold also his success by the Creator. we remember with paragraph 11 in the letter ar-ra'du in al-qur'anul kariim. "Allah will not change the fate of a people, before people are changing what is in themselves."
what we chose for this life? how our lives now? 
all we can choose. because life is a matter of choice. we can live with pleasure or enslaved by life.

for that, are there we think who we are, to the choices that we create ourselves fully describe the very special. The Creator is so especially us. then it is appropriate that we do nothing that indicates that we are special, by not fulfilling our days with things that are negative. whatever it includes attitudes do not accept the burden of this life, blame yourself, or cry over problems with excessive complaints.
modifier beings of the world are those who can draw a lesson from every incident. they will always learn from the positive environment.
make any occasion into something meaningful.

The most important thing for us this special person is acting as special and not cheap. that is evidenced in our attention in looking at life. it's time to get rid of 'reason' that, to act now, we need not worry anymore when we have been committed in our lives. later we will also feel the retribution for delays that we do once there are good intentions to act, or on the struggle of falling-down-build-build our lives in an effort to improve immediately.

when we plant corn we will reap corn. if we plant good we will reap a fortune. when we plant the ugliness we will reap misfortune. when we plant a pious charity we will get to heaven.
like what would happen in the future we are the result of what we do today. if we underestimate our lives now, we're going to be difficult life later. so, give the best after reading this suggestion.

Hey, Hey, Pendidikan!


Inilah realita, banyak yang tidak sekolah!
Di tengah-tengah kota, apalagi di pelosok desa!
Berjuta anak Bangsa tak mampu terus sekolah!
Karna biayanya saja sudah semakin menggila, Hey!
Hey, Hey, Hey, Pendidikan!
Bukanlah perusahaan yang orientasinya uang, Hey!
Hey, Hey, Hey, Pendidikan!
Bukanlah formalitas yang penuh dengan kekosongan!
Katanya pendidikan harus semua orang!
Yang dilindungi dan dijamin oleh undang-undang!
Hey, Hey, mana buktinya, hanyalah sampah belaka!
Ternyata yang sekolah hanyalah yang berduit saja!
Pendidikan di sini tak pernah berubah!
Seperti di era jamannya penjajah!
Di mana rakyat jelata tak bisa sekolah!
Yang bisa hanyalah kelompok yang punya kuasa!
Yang bisa hanyalah kelompok yang berduit saja!
Hey, Hey, Pendidikan!

Begitulah secuplik lirik lagu yang kudengar di angkot tadi siang di perjalananku ke kampus. Sosok dekil itu adalah pengamen, ia menyebut dirinya sendiri sebagai seniman jalanan. Ini bukan kali pertama aku mendengarkan pengamen bernyanyi di angkot. Sering, sangking seringnya aku selalu siap untuk merekam suara pengamen-pengamen lewat HP. Tapi pengamen macam yang satu ini belum pernah kutemui sebelumnya. Ya, lirik lagunya. Kalau dosen, guru, mahasiswa, atau pelajar bicara pendidikan, tentu itu biasa. Tapi kalau yang bicara berasal dari kalangan kurang terpelajar, baru kali ini kudengar jeritannya.
”Permisi, Kak!” sapaan pengamen itu membuyarkan lamunanku. Segera kuambil uang ribuan dan kuberikan surat yang tadi sudah kusiapkan. Ia tersenyum tulus.
”Terimakasih, Kak! Mari, kak!” ucapnya lagi, berpamitan dengan lembut. Pemuda itu turun saat angkot berhenti di pertigaan jalan. Lalu angkot melesat lagi. Kulihat ia dari angkot, ia membaca tulisan di secarik kertas yang kuberi. Isinya,
” Selamat berjuang, Kawan! Sampai bertemu lagi...”
Pemuda itu melihat angkot yang semakin menjauh. Ia tersenyum haru.

**

Sampai di kampus, aku terus terbayang-bayang kejadian tadi siang. Itu hanya satu contoh jeritan-jeritan rakyat di kalangan bawah. Ah, aku masih jauh lebih beruntung. Walaupun aku bukan orang kaya, tapi aku tetap bisa sekolah tinggi. Teman-temanku di kampus, mereka mudah saja merogoh kantong untuk kebutuhan mereka, walaupun sebenarnya nggak butuh-butuh amat. Sepatu masih bagus, belum juga sampai sebulan dibeli, udah mau ganti yang baru. Belanja ke mall udah jadi agenda rutin tiap bulannya, yang nggak kurang dari lima ratus ribu! Huft! Aku sih, nggak separah mereka itu memang. Tapi, aku masih bisa makan, masih bisa beli buku kuliah, masih punya tempat tinggal, ngekos lagi! Dan semua itu kunikmati bukan dari kerja kerasku sendiri, tapi keringat orangtuaku! Aku disekolahkan tinggi oleh orangtuaku, tapi setiap bulan aku masih saja menengadahkan tangan untuk minta jatah bulanan. Tidak tanggung-tanggung, plus kadang-kadang aku masih menyakiti hatinya. Astaghfirullah...!
Sudah bertahun-tahun aku sekolah dari kecil hingga hampir memasuki kepala dua. Ya… sekitar 13 tahun. Tapi hasilnya? Aku masih belum bisa menjadi generasi cerdas, dewasa, dan memiliki keterampilan. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang kependidikan negri ini. Terlalu banyak teorinya, jadi malas aku menghafalnya, nggak jelas sih…! Wajar saja kalau hasilnya ya begini-begini saja. Tak dapat diandalkan, tak dapat dibanggakan. Seperti teman-temanku! Dan aku?
Kuingat lagi pengamen tadi siang. Wajahnya memang pucat, karna debu, tapi ada keyakinan _iri dari wajahnya itu. Cara ia membawakan lagu dengan gitar juga enak didengar. Santai dan bersahaja. Tidak slenge’an. Usianya masih belasan tahun, pendek, kurus, hitam pula. Dari mana ya ia belajar bermain gitar dan menyanyi? Lirik lagu itu, diakah yang membuatnya? Atau siapa yang mengajarkannya? Ah, aku ingin bertemu lagi dengannya.

**

”Put!! Woy! Bengong aja, Lo!” Uci menepuk pundakku agak keras. Aku hanya tersenyum tipis.
“Kenapa sih, muka Lo ketekuk-ketekuk kayak baju belom disetrika ajah!” Aku tetap diam.
“Ih, kesambet ntar lho!” Ia menunjuk-nunjuk mukaku.
“Ci, Lo pernah nggak sih mikir, tentang udah berapa tahun kita belajar di sekolah… udah berapa banyak uang yang kita keluarkan? Salah, salah, bukan kita, tapi uang yang udah dikasih orangtua kita untuk biaya pendidikan kita? Gimana dengan mereka yang nggak punya duit tapi pengen sekolah?” kugoyang-goyangkan pundak Uci. Uci mengeleng.
“Emang penting gituh?”
“Ya ampun Uci…!” Mengapa teman-temanku tak berfikir seperti pengamen tadi siang ya? Padahal mereka kan dari bangku sekolah.


Apr 12, '10 11:17 PM

Pijar di Tengah Gulitanya Malam

Dalam relung yang terguncang..
Hari-hari ini begitu melankolis
Muak dengan kehidupan kapitalis!
Muak dengan kemunafikkan dunia!

Ada antrian panjang di busway
yang mengundang suara keras memekakkan
Ada para pendidik yang mengajar demi uang, demi uang!
mengorbankan pelajar dalam kesakitan, walau untuk kata sekulerisasi!
Ada pejabat negeri yang sarat kepentingan
menyusun program hanya untuk turunnya tender, lagi-lagi uang!
Di samping jutaan rakyat, yang untuk makan saja, ia mengais sampah

Kemewahan versus kemelaratan.
Ironi yang tak terkikis oleh waktu..

Lalu para ayah pulang kerja membawa kepenatan
Isteri yang menyibuki diri dengan rumpian ala silet
Anak-anak pun merengek meminta jajan, meminta dibelikan hp, ipod, laptop.
Rumah bumerang, di luar pun perang.




Kapankah kenistaan ini terhenti..
oleh sebuah kalimat tinggi
dengan kata perjuangan suci
lewat tangan-tangan yang mampu memikulnya dengan erat
layaknya bara api yang digenggam.
panas! dan membakar!!


Ia terbang di atas kubangan lumpur
Kemilau cahaya dalam kegelapan

Bukan untuk pelejitan aktualisasi diri
Atau retorika basi

Ia bergerak, di depan,
Mengambil bagian dalam perubahan
dengan lantang tegar berdiri, menghalau segala kerusakan
berteriak TAKBIR!!!
 

 4 Februari 2012

Aku dan Udara yang Ramah

Riuh. Sendu.
Bahagia yang musnah.
Senja yang berselimut temaram.
Membawa luka dan duka.
Hingga perih lalu merintih.
Cakrawala membentuk mega. Awan bergantian.
Makhluk kecil yang bertengger pun pergi. Menghilang.
Mencari perlindungan.
Namun langit kian pekat. Tak tersisa satu bintang.
Guntur bersautan. Memecah keheningan tiap rumah.
Di balik jendela, petir bergilir, tajam.
Ini nyanyian, pilu yang berbungkus muakan.
Semesta nan indah. Menjadi gundah.
Kuku-kuku retak. Tak bertuan.
Kicauan yang dulu nyaring.
Semerbak dengan wangi mawar yang menghias taman.
Lambaian dedaun dalam rindangnya kebun.
Ladang yang subur.
Sirna. Seketika.
Oleh apa saja, berbalut nafsu. Bercampur amarah.
Dan aku...
Berhembus di sudut desa yang kini gersang.
Berdo’a dalam diam. Menyatu dengan riuh-sendunya.
Menyapu kepingan-kepingan yang kelak terselamatkan.

Buitenzorg, 28 Ramadhan 1432 H / 28 Agustus 2011
Di bawah pohon rindang. Di depan rumahku.



untuknya


lembutkanlah hati saudariku, Rabb..
temanilah hari-harinya dengan ilmu..
hiasi dengan ayat-ayat suci..
jangan izinkan ia berbuat maksiat..
jangan izinkan ia mengeluh..
saat ia sedang sedih, buatlah ia tersenyum oleh nikmatMu yang tak terbatas..
saat ia sedang berbahagia, jagalah hatinya agar tetap selalu terpaut padaMu..
bila diri lemah nan fakir ini berbuat salah padanya, beri waktu untuk memohon maaf padanya, dan sampaikan senandung cinta dari bilik hati ini..

Rabbi.. Engkau Sang Maha Pembolak-balik hati..
bukakanlah pintu hidayah untuknya..
lapangkanlah dadanya..hingga ia ikhlas, sabar, dan tetap bersyukur dalam kondisi apapun..



Feb 4, '12 10:46 PM