Hey, Hey, Pendidikan!


Inilah realita, banyak yang tidak sekolah!
Di tengah-tengah kota, apalagi di pelosok desa!
Berjuta anak Bangsa tak mampu terus sekolah!
Karna biayanya saja sudah semakin menggila, Hey!
Hey, Hey, Hey, Pendidikan!
Bukanlah perusahaan yang orientasinya uang, Hey!
Hey, Hey, Hey, Pendidikan!
Bukanlah formalitas yang penuh dengan kekosongan!
Katanya pendidikan harus semua orang!
Yang dilindungi dan dijamin oleh undang-undang!
Hey, Hey, mana buktinya, hanyalah sampah belaka!
Ternyata yang sekolah hanyalah yang berduit saja!
Pendidikan di sini tak pernah berubah!
Seperti di era jamannya penjajah!
Di mana rakyat jelata tak bisa sekolah!
Yang bisa hanyalah kelompok yang punya kuasa!
Yang bisa hanyalah kelompok yang berduit saja!
Hey, Hey, Pendidikan!

Begitulah secuplik lirik lagu yang kudengar di angkot tadi siang di perjalananku ke kampus. Sosok dekil itu adalah pengamen, ia menyebut dirinya sendiri sebagai seniman jalanan. Ini bukan kali pertama aku mendengarkan pengamen bernyanyi di angkot. Sering, sangking seringnya aku selalu siap untuk merekam suara pengamen-pengamen lewat HP. Tapi pengamen macam yang satu ini belum pernah kutemui sebelumnya. Ya, lirik lagunya. Kalau dosen, guru, mahasiswa, atau pelajar bicara pendidikan, tentu itu biasa. Tapi kalau yang bicara berasal dari kalangan kurang terpelajar, baru kali ini kudengar jeritannya.
”Permisi, Kak!” sapaan pengamen itu membuyarkan lamunanku. Segera kuambil uang ribuan dan kuberikan surat yang tadi sudah kusiapkan. Ia tersenyum tulus.
”Terimakasih, Kak! Mari, kak!” ucapnya lagi, berpamitan dengan lembut. Pemuda itu turun saat angkot berhenti di pertigaan jalan. Lalu angkot melesat lagi. Kulihat ia dari angkot, ia membaca tulisan di secarik kertas yang kuberi. Isinya,
” Selamat berjuang, Kawan! Sampai bertemu lagi...”
Pemuda itu melihat angkot yang semakin menjauh. Ia tersenyum haru.

**

Sampai di kampus, aku terus terbayang-bayang kejadian tadi siang. Itu hanya satu contoh jeritan-jeritan rakyat di kalangan bawah. Ah, aku masih jauh lebih beruntung. Walaupun aku bukan orang kaya, tapi aku tetap bisa sekolah tinggi. Teman-temanku di kampus, mereka mudah saja merogoh kantong untuk kebutuhan mereka, walaupun sebenarnya nggak butuh-butuh amat. Sepatu masih bagus, belum juga sampai sebulan dibeli, udah mau ganti yang baru. Belanja ke mall udah jadi agenda rutin tiap bulannya, yang nggak kurang dari lima ratus ribu! Huft! Aku sih, nggak separah mereka itu memang. Tapi, aku masih bisa makan, masih bisa beli buku kuliah, masih punya tempat tinggal, ngekos lagi! Dan semua itu kunikmati bukan dari kerja kerasku sendiri, tapi keringat orangtuaku! Aku disekolahkan tinggi oleh orangtuaku, tapi setiap bulan aku masih saja menengadahkan tangan untuk minta jatah bulanan. Tidak tanggung-tanggung, plus kadang-kadang aku masih menyakiti hatinya. Astaghfirullah...!
Sudah bertahun-tahun aku sekolah dari kecil hingga hampir memasuki kepala dua. Ya… sekitar 13 tahun. Tapi hasilnya? Aku masih belum bisa menjadi generasi cerdas, dewasa, dan memiliki keterampilan. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang kependidikan negri ini. Terlalu banyak teorinya, jadi malas aku menghafalnya, nggak jelas sih…! Wajar saja kalau hasilnya ya begini-begini saja. Tak dapat diandalkan, tak dapat dibanggakan. Seperti teman-temanku! Dan aku?
Kuingat lagi pengamen tadi siang. Wajahnya memang pucat, karna debu, tapi ada keyakinan _iri dari wajahnya itu. Cara ia membawakan lagu dengan gitar juga enak didengar. Santai dan bersahaja. Tidak slenge’an. Usianya masih belasan tahun, pendek, kurus, hitam pula. Dari mana ya ia belajar bermain gitar dan menyanyi? Lirik lagu itu, diakah yang membuatnya? Atau siapa yang mengajarkannya? Ah, aku ingin bertemu lagi dengannya.

**

”Put!! Woy! Bengong aja, Lo!” Uci menepuk pundakku agak keras. Aku hanya tersenyum tipis.
“Kenapa sih, muka Lo ketekuk-ketekuk kayak baju belom disetrika ajah!” Aku tetap diam.
“Ih, kesambet ntar lho!” Ia menunjuk-nunjuk mukaku.
“Ci, Lo pernah nggak sih mikir, tentang udah berapa tahun kita belajar di sekolah… udah berapa banyak uang yang kita keluarkan? Salah, salah, bukan kita, tapi uang yang udah dikasih orangtua kita untuk biaya pendidikan kita? Gimana dengan mereka yang nggak punya duit tapi pengen sekolah?” kugoyang-goyangkan pundak Uci. Uci mengeleng.
“Emang penting gituh?”
“Ya ampun Uci…!” Mengapa teman-temanku tak berfikir seperti pengamen tadi siang ya? Padahal mereka kan dari bangku sekolah.


Apr 12, '10 11:17 PM

0 komentar: