Tampilkan postingan dengan label generasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label generasi. Tampilkan semua postingan

FERVEUR!



Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya di hari kiamat, yaitu; manusia yang mencabut selendang Allah. Sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah al-izzah (keperkasaan); manusia yang meragukan perintah Allah; dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah.
[hr.ahmad, ath-thabrani, al-bazzar]

Ukhti, tawadhu'lah. Tundukkan setiap jengkal kelebihan dengan sikap ridha pada Allah. Ingatlah tentang sebuah hadits riwayat an-nasai dan abu dawud, bahwa sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal kecuali amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan dilakukan karena mengharap ridha Allah semata.

Ukhti, bersegeralah. Tunaikan kewajiban-kewajibanmu. Sebelum datang masa tuamu, masa sempitmu, masa miskinmu, masa sakitmu, dan kematianmu. Lakukanlah saat ini juga, tanpa disuruh, tanpa mengeluh. Resapilah an-nisaa' ayat 65.

Ukhti, tetap tegarlah. Saat ini engkau belum menemui badai halilintar. Yang baru tampak di depan matamu adalah riak-riak kecil yang bisa engkau sapu dengan ketawakalanmu. Ingatlah ukhti, hidup dan perjuangan ini layaknya seleksi alam. Siapa saja yang kurang lurus niatnya, kurang ikhlas, tidak kuat, dan berharap pada selain Allah, maka ia akan terdampar, tersingkir dengan sendirinya tanpa permisi, seperti dedaunan lapuk yang menggugurkan dirinya sendiri.

Apakah kita masih mau melakukan yang kecil dan remeh temeh untuk hidup dan perjuangan ini??
Apakah kita akan terus meminta kasih sayang dan perhatian orang lain namun tak sedikit pun kita menebar kasih sayang di antara kita??
Apakah kita akan berteman dengan para pendosa, yang sehari-harinya tertawa, bahkan terbahak-bahak, padahal gunung dosa hampir menutupi wajahnya??
Apakah kita rela menjadi yang biasa-biasa saja, padahal energi yang membuncah dalam dada dapat meletus bak kilatan pedang yang menghunus kekufuran??
Apakah kita akan terlalu banyak bicara dan bertanya, namun NOL dalam tindakan??
Apakah kita akan terus ber'teori-teori, namun enggan dan sekedarnya saja dalam implementasi??
Apakah kita suka jadi pecundang daripada pemenang??
Apa yang engkau tunggu, saudariku....??
Mengapa tak kau genapkan ikhtiarmu, dengan kekuatan mabda'mu, dan sujudmu di sepanjang malam..?
For my team..FERVEUR..
Fajar ini, sedemikian indah untuk dilewatkan tanpa energi! Semangatlah menjemput ridhaNya!
Bergegaslah!
CARPE DIEM!!!

on Tuesday, October 18, 2011 at 12:15pm

inspirasi dari Al-fatih



salamun'alaikbimaashobartum.
ikhwahfillah,
tadi, saat nonton film sang penakluk konstantinopel, diri lemah ini semakin merasakan kelemahannya di hadapanNya..
Muhammad Al-Fatih II berjihad atas nama Allah, ia tidak pernah bosan mengingatkan pasukan terbaiknya dengan kalimat-kalimat penuh hikmah,
"Wahai pasukan terbaik! Jangan mulai langkahmu tanpa Dzikrullah, Bersabarlah dan Allah bersama kita! Siapkan diri kalian menjadi pilar2 Agama Allah!" 
Pasukan terbaik yang tak pernah lewat sekali pun shalat fardhu itu menjawab perintah Al-Fatih dengan tersenyum dan berkata,
"Tak ada pilihan lain, selain ta'at dan patuh."
Saat waktu bergulir, dan kemenangan pun belum berpihak pada kaum muslimin, Al-Fatih mengingatkan kembali pasukan terbaiknya,
"Musuh terbesar kita adalah dosa-dosa kita sendiri! Wahai pasukanku, yang aku takutkan adalah dosa-dosa kalian! Saudara-saudaraku, bertaubatlah kepada Allah. Allah pasti menolong Kita "
Begitulah Al-fatih membangkitkan pasukannya. Al-fatih juga menyemangati dirinya sendiri,
"Waktu belum berpihak pada kita, tapi aku tidak akan pernah membiarkan musuhku bernafas lega!"
Ikhwahfillah..
Kita, penerus risalah Muhammad SAW, para pembebas dengan cahaya Islam di tengah kegelapan,
yang tak lepas oleh khilaf karena kita hambaNya yang lemah, maka alangkah baiknya saling memaafkan atas kesalahpamahan yang pernah terjadi, lalu kita bertaubat bersama pada Dzat Yang Maha Pengampun.
Akhirnya, serupa dengan do'a Al-fatih,
"Ya Allah taklukkan Indonesia di tangan kami, kabulkanlah permohonan kami wahai Dzat Yang Maha Pemurah..."
saudarimu,
Crafty Rini Putri
Bogor, 5 Juni 2011

Hey, Hey, Pendidikan!


Inilah realita, banyak yang tidak sekolah!
Di tengah-tengah kota, apalagi di pelosok desa!
Berjuta anak Bangsa tak mampu terus sekolah!
Karna biayanya saja sudah semakin menggila, Hey!
Hey, Hey, Hey, Pendidikan!
Bukanlah perusahaan yang orientasinya uang, Hey!
Hey, Hey, Hey, Pendidikan!
Bukanlah formalitas yang penuh dengan kekosongan!
Katanya pendidikan harus semua orang!
Yang dilindungi dan dijamin oleh undang-undang!
Hey, Hey, mana buktinya, hanyalah sampah belaka!
Ternyata yang sekolah hanyalah yang berduit saja!
Pendidikan di sini tak pernah berubah!
Seperti di era jamannya penjajah!
Di mana rakyat jelata tak bisa sekolah!
Yang bisa hanyalah kelompok yang punya kuasa!
Yang bisa hanyalah kelompok yang berduit saja!
Hey, Hey, Pendidikan!

Begitulah secuplik lirik lagu yang kudengar di angkot tadi siang di perjalananku ke kampus. Sosok dekil itu adalah pengamen, ia menyebut dirinya sendiri sebagai seniman jalanan. Ini bukan kali pertama aku mendengarkan pengamen bernyanyi di angkot. Sering, sangking seringnya aku selalu siap untuk merekam suara pengamen-pengamen lewat HP. Tapi pengamen macam yang satu ini belum pernah kutemui sebelumnya. Ya, lirik lagunya. Kalau dosen, guru, mahasiswa, atau pelajar bicara pendidikan, tentu itu biasa. Tapi kalau yang bicara berasal dari kalangan kurang terpelajar, baru kali ini kudengar jeritannya.
”Permisi, Kak!” sapaan pengamen itu membuyarkan lamunanku. Segera kuambil uang ribuan dan kuberikan surat yang tadi sudah kusiapkan. Ia tersenyum tulus.
”Terimakasih, Kak! Mari, kak!” ucapnya lagi, berpamitan dengan lembut. Pemuda itu turun saat angkot berhenti di pertigaan jalan. Lalu angkot melesat lagi. Kulihat ia dari angkot, ia membaca tulisan di secarik kertas yang kuberi. Isinya,
” Selamat berjuang, Kawan! Sampai bertemu lagi...”
Pemuda itu melihat angkot yang semakin menjauh. Ia tersenyum haru.

**

Sampai di kampus, aku terus terbayang-bayang kejadian tadi siang. Itu hanya satu contoh jeritan-jeritan rakyat di kalangan bawah. Ah, aku masih jauh lebih beruntung. Walaupun aku bukan orang kaya, tapi aku tetap bisa sekolah tinggi. Teman-temanku di kampus, mereka mudah saja merogoh kantong untuk kebutuhan mereka, walaupun sebenarnya nggak butuh-butuh amat. Sepatu masih bagus, belum juga sampai sebulan dibeli, udah mau ganti yang baru. Belanja ke mall udah jadi agenda rutin tiap bulannya, yang nggak kurang dari lima ratus ribu! Huft! Aku sih, nggak separah mereka itu memang. Tapi, aku masih bisa makan, masih bisa beli buku kuliah, masih punya tempat tinggal, ngekos lagi! Dan semua itu kunikmati bukan dari kerja kerasku sendiri, tapi keringat orangtuaku! Aku disekolahkan tinggi oleh orangtuaku, tapi setiap bulan aku masih saja menengadahkan tangan untuk minta jatah bulanan. Tidak tanggung-tanggung, plus kadang-kadang aku masih menyakiti hatinya. Astaghfirullah...!
Sudah bertahun-tahun aku sekolah dari kecil hingga hampir memasuki kepala dua. Ya… sekitar 13 tahun. Tapi hasilnya? Aku masih belum bisa menjadi generasi cerdas, dewasa, dan memiliki keterampilan. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang kependidikan negri ini. Terlalu banyak teorinya, jadi malas aku menghafalnya, nggak jelas sih…! Wajar saja kalau hasilnya ya begini-begini saja. Tak dapat diandalkan, tak dapat dibanggakan. Seperti teman-temanku! Dan aku?
Kuingat lagi pengamen tadi siang. Wajahnya memang pucat, karna debu, tapi ada keyakinan _iri dari wajahnya itu. Cara ia membawakan lagu dengan gitar juga enak didengar. Santai dan bersahaja. Tidak slenge’an. Usianya masih belasan tahun, pendek, kurus, hitam pula. Dari mana ya ia belajar bermain gitar dan menyanyi? Lirik lagu itu, diakah yang membuatnya? Atau siapa yang mengajarkannya? Ah, aku ingin bertemu lagi dengannya.

**

”Put!! Woy! Bengong aja, Lo!” Uci menepuk pundakku agak keras. Aku hanya tersenyum tipis.
“Kenapa sih, muka Lo ketekuk-ketekuk kayak baju belom disetrika ajah!” Aku tetap diam.
“Ih, kesambet ntar lho!” Ia menunjuk-nunjuk mukaku.
“Ci, Lo pernah nggak sih mikir, tentang udah berapa tahun kita belajar di sekolah… udah berapa banyak uang yang kita keluarkan? Salah, salah, bukan kita, tapi uang yang udah dikasih orangtua kita untuk biaya pendidikan kita? Gimana dengan mereka yang nggak punya duit tapi pengen sekolah?” kugoyang-goyangkan pundak Uci. Uci mengeleng.
“Emang penting gituh?”
“Ya ampun Uci…!” Mengapa teman-temanku tak berfikir seperti pengamen tadi siang ya? Padahal mereka kan dari bangku sekolah.


Apr 12, '10 11:17 PM