Diposting oleh
Unknown
komentar (0)
Ini adalah Challenge menulis OWOP (One Week One Paper). Temanya STORY BLOG TOUR.
Setiap member yang sudah diberi urutan melanjutkan sesuai imajinasinya di blog pribadinya.
Aku Crafty (biasa dipanggil Rini, di OWOP) mendapatkan giliran untuk membuat episode enam dalam serial STORY BLOG TOUR ini.
Cerita sebelumnya
1. Depi : LelakiYang Tertelan Waktu
2. Lisma : Sepenggal Harap
3. Kiki : Sebuah Salam dan Bayang Masa
Dan inilah episode ke-enamnya. Cekidot~
“Pemuda ini…
ya ini orangnya. Kok bisa ada di sini?” Sarno memiringkan kepalanya lalu
garuk-garuk kepala. Kardi menatap lekat wajah Karman, anak muda yang memberi
harapan baru di surau tuanya. Sejenak, Kardi mengakui gurat-gurat wajah Karman
mirip sekali dengan Kardi muda, batinnya gusar. Ia tertegun dan tampak tak
tenang. Ingatan tentang Marni menyeruak ke dalam hatinya yang kelu, dan rindu
pada sosok itu. Tetapi…
“Wes aku pamit dulu, No.” Akhirnya itu
yang ia putuskan. Segera pamit dan mencari tahu sendiri latar belakang Karman
yang telah mengaduk-aduk hatinya sejak subuh tadi.
-----
Lembayung
senja menyeringai sudah yang sudah tampak tua. Setua Kardi yang tertegun di
sudut surau, memperhatikan diri yang tertampak letih di hadapannya. Ia tak
banyak mengajak Karman bicara sepulang dari rumah Sarno. Usai menunaikan shalat
dzuhr di hari yang sudah terik itu, Kardi memberinya makan, lalu membiarkannya
terlelap melepas lelah seharian kemarin berkelana, mencari bapaknya. Kardi
merasa takdir telah menjawab gunda hatinya. Kerinduan pada Marni, berganti
dengan pertemuannya pada anak muda ini. Anak muda yang tak pernah ia pikirkan
sebelumnya, tetapi saat ini membuatnya ingin menjadi seorang bapak. Walau di
usianya yang sudah di ujung senja.
Hingga
panggilan shalat selanjutnya, suara serak Kardi membuat anak muda itu terjaga.
Matanya perlahan membuka, melihat sosok lelaki tua yang berdiri tegap walau
badannya sudah tak tegap lagi. Matanya menyibak ke seluruh sendi tubuh Kardi.
Kepalanya yang diamati dari sisi samping Kardi berdiri, belahan rambut yang
tertampak rapih menyisir jajaran rambut yang menjuntai sampai ke leher, seperti
tak terawat tapi persis seperti belahan rambutnya. Tangannya, yang diletakkan
di sebelah telinga kanannya, keriput dan coklat tua. Badannya, lengan yang
sudah melemah, dan kaki yang agak sedikit bergetar.
Matanya
mulai tak kabur, membuka dengan jelas, tubuh Kardi menjadi fokus retinanya
hingga ia terduduk. Kardi meliriknya, mendekatinya. Lalu menyentuh pundaknya
dan berkata, “ambillah wudhu, Nak. Mari shalat bareng Bapak.” Ucap Kardi tegas
namun terdengar syahdu.
Karman
menangkap kehangatan yang terpancar dari sentuhan tangan Kardi. Belum pernah ia
merasakan damai yang tercipta beberapa detik lalu. Ia mengangguk dan tersenyum
tipis kepada Kardi, yang entah perasaan dari mana membuatnya merasakan telah
menemukan yang dicari.
Kali ini
Kardi memanjangkan sujudnya sebelum salam. Hatinya memasrah. Buliran air mata
merembes di sudut matanya. Rasa sakit, pilu, dan rindu membalut jiwanya yang
kini tak merasa sepi.
“Rabbana hablana minladunka rahmah..
innaka antassami’uddua…”
Tengadah
Kardi pada Rabbnya. Tangannya gemetar menelungkap diusapkannya ke wajah dan
dada. Meresapi jemarinya yang sudah tak kokoh lagi, yang dulu menggenggam
tangan indah Marni, istrinya yang amat dirindui..
“Pak…”
panggil anak muda yang telah menjadi makmumnya seharian ini, setelah Kardi
terdiam cukup lama tanpa bergerak sedikit pun dari sejadah lusuhnya. Kardi
menoleh.
“Ya, Nak.”
Jawabnya lirih dan dalam. Hatinya bak bunga layu yang terpancar hangat oleh
cahya mentari, menyelipkan harap-harap titian kehidupan, yang akan lain dari
hari-hari sebelumnya yang sendu.
“Bapak
tinggal di sini ya? Apakah Bapak punya keluarga? Dan… kenapa taka da yang
datang untuk shalat di surau, Pak?” ada banyak tanya yang ingin segera Karman
sampaikan. Ia mengharap, jawaban-jawaban Kardi akan menjadi jawaban dari
ungkapan terakhir ibunya sebelum meninggal. Ya, harapan yang pula ada di
sanubari Kardi.
Kardi
tersenyum sekaligus terenyuh. “Mari, Nak. Kita duduk di depan teras saja.” Ajak
Kardi merangkul bahu Karman. Karman membalas senyumnya dengan seribu tanya yang
bergejolak di hati.
“Seperti
yang kau lihat, Nak. Aku hanyalah lelaki tua di penghujung usia. Mungkin
waktuku hidup, juga akan habis, seperti ibumu.” Karman merasa, setiap inci
gerak dan setiap Kardi berbicara, keyakinannya menguat, bahwa ia telah
menemukan pencariannya. Ia ingin segera bertanya apakah Kardi adalah bapaknya.
Apakah, apakah, dan apakah yang membuatnya gusar namun ingin mendengar cerita
Kardi dengan seksama.
“Tak pernah
ada sebelummu, yang menjadi shaf shalat di surau ini. Aku merindukan sepasang
kaki yang melangkau ke surau, tapi harapanku selalu pupus setiap usai kumandang
adzan, dan aku harus segera tegakkan shalat. Sendiri dan sendiri lagi. Sepi…
Namun hari ini kau telah menghidupkan semangatku, Nak!” Kardi tersenyum bangga
pada Karman. Yang telah menjadi makmum yang diharap-harapnya selama ini adalah
anaknya sendiri. Sebuah dugaan yang ia harap tak akan meleset lagi.
“Tapi Pak,
saya sebenarnya nggak bisa shalat. Saya Cuma ngikutin Bapak.” Kardi tetap
tersenyum. Entah aliran dari mana, Karman berusaha jujur pada lelaki tua ini.ia
merasa dekat, sehingga tak perlu menyembunyikannya.
“Tidak apa,
Nak. Nanti akan Bapak ajari.” Naluri kebapakannya muncul lagi.
“Aku tak
ingin bicara tentang masa laluku, Nak. Karena… ia adalah cerita yang teramat
panjang. Yang mengantarkanku pada ketundukan, dan aku mengenal diriku seutuhnya,
sebagaimana aku ingin sekali mengenal Rabbku, Allah. Surau inilah yang
mengingatkanku pada panggilan-panggilan-Nya. Telah menepis masa laluku yang
kelam. Dan.. mengobati rinduku pada istriku. Ya, istriku…” Kardi terdiam,
menunduk dan mengusap matanya. Karman bergidik, batinnya makin gelisah.
Udara-udara
di senja itu menjadi sibak tabir antara dua orang lelaki yang dipaut usia. Keduanya
tak saling mengenal namun obrolannya merekatkan jiwa yang kesepian.
“Marni…”
ucapnya lirih.
Next story, cek blog Mas Imron yuk, :)