Jalan Islam, untuk Remaja



Kini….aku masih belia
Hasrat terjajah
Dibungkam, agar tak ada aspirasi
Pintar pun tak berguna
RUU Ormas telah mengebiri

Saat teman-temanku rusak karna seks bebas.. tawuran.. pacaran.. narkoba..
Tak banyak yang dapat memberi ingat
Justru diam seribu bahasa
Padahal ada azhab Allah yang kelak menyengat.

Apakah tidak tergerak..?
Mengapa diri masih belum bertindak..?

Tuhan….
Dalam semangat yang menggelora
Terselip asa.

Dalam muak yang membuncah
Masih ada cita-cita.

Tolong kami dalam berkata-kata…
Agar pemimpin kami membuka mata.

Tolong kami menjelaskan fakta…
Agar orang tua kami membuka telinga.

Hingga mereka sadari
Islam, Hanya Islam…
Hanyalah Islam… yang mampu menyelesaikan segala masalah.

Dari kegelapan…
Menuju jalan terang benderang…

Just Simple


Saya teringat dengan seseorang. Yang bicaranya, cara berjalannya, memandang sesuatu, simple sekali. Jika ada yang mengritiknya, ia apa adanya. Tidak menolak, tidak melakukan pembenaran, tidak menyangkal, apalagi menyerang balik. Cukup diam, resapi, dan renungkan. Jika itu benar, ia segera perbaiki. Jika tak benar, tak ia hiraukan lagi. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

Begitulah kita sepatutnya mendengar kritik. Memang ada saja kritik yang destruktif. Sifatnya ingin menjatuhkan kita, bukannya konstruktif. Tapi apakah kita harus memaksa orang lain untuk bicara enak-enak dulu baru kita menerima pandangan orang lain?

Hidup ini sederhana.

Rasul kita yang Mulia, pun mengajarkan kesederhanaan. Beliau orang yang sangat kaya raya. Tapi, apakah ditemukan meubel, rumah, sarana-prasarana yang ia miliki itu mewah? Tidak. Beliau kaya, tapi tidak maruk. Kaya tapi dermawan. Kaya tapi sederhana.

Buktinya? Ketika Rasul SAW wafat, tak ditinggalkannya hutang sedikit pun kepada ahli warisnya, tapi juga tak meninggalkan harta. Begitulah. Sederhana.
Kita lahir dalam keadaan tak punya apa-apa. Maka mati pun tak ada apa-apa. Tak menanggung hutang kepada orang lain. Juga tak memberi iming-iming harta kepada yang kita tinggalkan. Zero. Itulah kita soal harta.

Jadi jika baru punya sedikit uang, jangan belagu. Belagunya gimana? Ya dengan belanja sana-sini, ini-itu, yang sebenarnya bukan kebutuhan mendesak kita. Hanya sekedar memuaskan nafsu dan keinginan sesaat.

Yang lebih parah lagi jika uang itu dari hutang. Jika pun terpaksa kita berhutang, itu untuk keperluan yang sangat sangat mendesak saja. Dan cukup berhutang kepada yang sangat kita percaya saja. Setelah itu, berusaha keras untuk melunasinya.

Dalam soal hutang, Islam juga sangat sederhana. Bagi yang kesulitan, orang yang menghutangi lebih baik memberi tangguhan waktu. Tapi tetap hutang itu hak nya pemberi hutang, jadi jika ingin mengambil haknya silahkan saja asal tidak menyalahi kesepakatan.

Bicara tentang hutang, rasanya dekat dengan kita ya? Saya berdo’a, semoga kita semua segera terbebas dari hutang-hutang.. :)

Ya intinya, Rasul mengajarkan kita hidup sederhana. Tidak bermewah-mewahan. Kalau pun punya banyak harta, semua diinfakkan untuk berlangsungnya dakwah Islam. Bukan untuk kesenangan duniawi semata.

Jika kita bersenang-senang di dunia, belum tentu kita bisa selamat di akhirat kelak. Karenanya, bersikap proporsional itu lebih baik menjadi pilihan. Ketika kita butuh, kita pakai. Ketika tidak butuh ya tidak dipakai. Bisa jadi disimpan, atau diberi kepada yang lain sebagai infak atau sedekah.

Begitu pun kita dalam menghadapi segala masalah hidup. Jika kita punya masalah, kecil atau berat, segera selesaikan. Jangan tunda-tunda. Jangan menumpuk-numpuk. Jika sudah selesai, pindah menyelesaikan masalah yang lain.

Janganlah mengulang masalah yang sama pada orang yang sama. Jika begitu, lebih baik resign. Daripada menumpuk citra negatif terhadap diri kita dari orang tersebut. Bukan pengecut. Sikap ini lebih bermakna penyelamatan.

Kalau seandainya yang bermasalah kita, maka bisa diperbaiki. Tapi jika yang memiliki masalah adalah orang lain? Berkali-kali telah kita ingatkan, tak jua berubah. Apakah kita hendak memaksa? Nah, hindari saja orang yang seperti ini. Simple kan? Life is not easy, but simple to do. :)

Manisnya Hidup; Kita yang Tentukan




“Satu perahu berlayar ke timur, lainnya ke barat. Padahal digerakkan oleh angin yang sama. Bukan arah angin yang menentukan ke mana arah perahu, tapi bentangan lebar layarlah yang membawa kita. Seperti angin laut itulah alur kehidupan. Saat kita mengarungi kehidupan, bentangan jiwalah yang menentukan tujuannya, dan bukan ketenangan, atau hirup pikuknya lingkungan kita.” (Ello Wheeler Wilcox)

Yang menentukan bagaimana hidup kita adalah seberapa kuat niat kita untuk bertindak sekarang juga atas apa yang menimpa kita.
Sebagian besar orang menunda-nunda dalam menentukan sikap, berusaha untuk menghindar dari sebuah pilihan, namun sejatinya mereka pun sedang memilih, yakni memilih untuk menghindari kehidupan.

Marilah kita ingat ayat 11 pada surah Ar-Ra’du dalam Al-Qur’anul Kariim.
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum tersebut mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”

Apa yang kita pilih untuk kehidupan ini? Bagaimana kehidupan kita sekarang? Bahagiakah? Atau dalam ketersiksaan? Semuanya bisa kita pilih. Karna hidup hanya masalah memilih. Kita bisa menjalani hidup dengan nikmat atau diperbudak oleh kehidupan, semua ada dalam kendali kita.

Untuk itu, adakah kita memikirkan siapa diri kita, hingga pilihan-pilihan yang kita ciptakan menggambarkan diri kita seutuhnya. Sang Pencipta begitu menyepesialkan kita. Maka sudah sepantasnya kita melakukan apa-apa yang menunjukkan bahwa kita memang special, dengan tidak memenuhi hari-hari kita dengan sesuatu yang sifatnya negatif. Apa pun itu termasuk sikap tidak menerima beban hidup ini, menyalahkan diri sendiri, atau menangisi masalah dengan keluhan secara berlebihan.
Insan-insan pengubah dunia adalah mereka yang bisa memetik pelajaran dari setiap kejadian. Mereka akan selalu belajar dari lingkungan yang positif. Menjadikan setiap kesempatan menjadi sesuatu yang penuh makna.
Hal yang paling penting bagi kita yang spesial ini adalah bertindak sebagai orang spesial dan tidak murahan. Yaitu dibuktikan pada perhatian kita dalam memandang hidup. Sudah saatnya kita menyingkirkan ’alasan’ yang menghambat untuk bertindak sekarang juga dalam memperbaiki hidup kita.

Bila kita menanam jagung, kita akan memetik jagung.
Bila kita menanam kebaikan, kita akan menuai keberuntungan.
Bila kita menanam keburukan, kita akan menuai kemalangan.
Bila kita menanam amal sholeh, kita akan mendapatkan surga.
Seperti apa jadinya kita di masa depan adalah hasil dari apa yang kita lakukan hari ini. Bila kita meremehkan hidup kita sekarang, kehidupan kita akan menjadi sulit nantinya. Jadi, mulai hari ini, berikanlah yang terbaik untuk hidup kita. Li ila kalimatillah..

-Crafty Rini Putri-

Poligami itu Bukan untuk Rumor



Gundah. Mungkin itu yang dirasakan para istri, ketika membayangkan suaminya hendak ber-poligami. Dari pemikirannya mengatakan sah saja. Namun hati dan perasaan bicara lain. Seolah tak mau menerima, padahal ia hukum Allah yang sepatutnya diterima.

Ada sebagian orang yang berpendapat, “ya poligami memang mubah, tapi nggak harus dipraktekkan toh?” ada juga yang mengeluarkan statement, “silahkan saja kalau mau poligami, tapi jangan suami saya!”

Ungkapan-ungkapan seperti ini sedikit terdengar paradoks. Kenapa? Karena, jika seseorang telah meridhoi sesuatu, tentu tak masalah baginya untuk melakukan atau mendapatkan hal itu.

Ketika masih ada hal lain yang lebih diridhoi selain apa yang diridhoi Allah, maka hati-perasaan dan pemikirannya belum disandarkan secara total terhadap Allah SWT.

Namun ada benarnya, segala sesuatu yang mubah secara hukum, tidak harus kita jalankan. Jika ingin dan melihat ada mashlahat di sana, boleh dijalankan. Sebaliknya, jika melakukannya justru akan mendatangkan kepada maksiat dan keburukan, maka harus ditinggalkan.

Oleh karenanya, ngobrol tentang poligami bisa tak habis-habis kalau tidak dalam satu frekuensi persepsi. Hal utama yang wajib diketahui adalah hukum poligami itu sendiri yang mubah. Sebagaimana Allah tegaskan dalam firman-Nya:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa’ : 3)

Selanjutnya adalah pilihan masing-masing orang. Jadi untuk apa dirumorkan? Apalagi dibahas, ketika poligami, istri pertamanya akan cemburu dan sebagainya.

Secara praktis mari kita berfikir, bukankah setiap orang punya rasa cemburu?? Bukan lantas hanya orang yang dipoligami. Masalahnya hanya terletak pada manajemen perasaan yang diletakkan dengan baik, misalnya bagaimana caranya cemburu itu jadi terarah dan bukan cemburu buta. Kalau sudah cemburu buta, tanpa tahu fakta sudah member judgement yang tidak-tidak, tentu ini yang bahaya dan mematikan. Ini yang harus dihindari.

Nah, bagaimana jika suami yang tidak ingin poligami? Oke oke saja. Istri juga tidak seharusnya mendesak suami untuk justru berpoligami (adakah istri yang seperti ini?)

Akhir-akhir ini, banyak kasus seputar selingkuh dan main hati. Tentu ini tidak dibenarkan. Namun, mengapa ini bisa terjadi, dan apa solusinya?

Jika ada yang memberi solusi poligami, boleh-boleh saja. Hanya, yang lebih patut kita renungkan adalah apa, mengapa, dan bagaimana rumah tangganya berjalan? Sudahkah sesuai dengan koridor Islam? Sudahkah dengan sungguh-sungguh menjalankan hak-kewajiban setiap pasangan?

Marilah kita evaluasi diri kita, sebelum mengeluarkan satu-dua keputusan. Sangat mungkin, apa yang terjadi dalam hidup kita adalah ujian dari Allah untuk menaikkan tingkat diri kita atau malah sebagai teguran karna kita telah terlampau jauh dari Allah.

Pikirkan masak-masak segala sesuatunya. Karena boleh jadi apa yang kita senangi dan kita fikirkan baik untuk kita, ternyata justru mendatangkan keburukan. Sebaliknya, kita berfikir itu buruk dan tidak cocok dengan kita, ternyata justru itu yang terbaik. Kita sangat lemah untuk menduga-duga apa yang kita tidak ketahui. Sedangkan Allah SWT Maha Mengetahui segalanya.

Alih-alih menjadikannya rumor, lebih baik kita berharap kepada Allah agar Dia melekatkan diri kita pada Rabb kita, Allah SWT. Juga mendekatkan kita pada Uswah kita, Rasulullah SAW. Serta merekatkan hubungan kita pada partner hidup (suami/istri) kita, orangtua, kakak-adik, kerabat, sahabat, para pengemban risalah Islam, serta seluruh kaumnya Nabi Muhammad, Ummat Islam. [Ummu ‘Aamirah]


Menebar Benih Keikhlasan dalam Bilik Hati


Kita bisa jujur pada hati sendiri, namun seringkali justru membohongi.
Setiap ada pilihan berbuat baik, pilihan buruk sentiasa menggoda.
Tak lama berfikir, terburu-buru, akhirnya yang keluar adalah keputusan mentah.
Berlagak seperti mampu padahal jiwanya rapuh.
Bersikap seolah cerdas padahal raganya tertindas.
Menepis ruang yang biasa bicara apa adanya, tak dikurang-tambahi.
Mencoba tenang dalam airmata yang menggenang.
Namun, tetap saja hati gundah.
Merenungi sebuah matriks hidup yang kian meredup.
Lupa, dengan ketulusan, keikhlasan, kesabaran.
Karna dinding yang tak tertanding.
Menjadikan lumpuh, layu.
Hilang peka. Hanya meraba-raba.
Akhirnya, selalu persepsi yang dibuat-buat sendiri.
Yang menghadirkan fakta mengada-ada.
Lalu sibuk membenarkan diri.
Menyalahkan yang lain.
Meremehkan setiap orang.
Walau gayanya seperti orang yang tak pernah khilaf.
Dan bangga.
Memaksa diri sendiri untuk selalu tampak bak permaisuri.
Yang menjadi pelayan umat tapi selalu ingin dilayani.
Yang menjadi pengayom umat tapi selalu ingin orang memahaminya.
Tak ingin adil dalam bersikap, hanya kepentingan sendiri yang diharap.
Pekerjaannya mengomentari orang, orang, dan orang.
Tak ingat dirinya punya cermin untuk memukul si empunya.
Namun lebih suka berfokus pada kekurangan siapapun di depannya.
Tak kepikiran bahwa suatu saat ia bisa menjadi apa yang ia katakan pada orang.
Saat kekurangan orang akhirnya menimpanya jua.
Dan ia tak kuasa.
Jika kini hanya mengiri pada yang ikhlas berbagi.
Namun tak sepeserpun uang terbayar.
Sedekah hanya nanti, nanti, dan nanti.
Menolong orang pun sedikit terpikir namun enggan.
Pantas saja hatinya gusar. Pikiran sering buyar.
Kalau sudah begitu, apakah masih pantas menyebut diri seorang pejuang?
Marilah kita sebut pejuang hidup yang tidak berjuang.

ShoutMix chat widget