Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan

Membangun Keluarga yang SaMaRa

 
Kita sering mendengar, banyak orang yang mendo’akan pasangan pengantin baru dengan“Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah,” namun sedikit sekali yang memiliki pemahaman utuh tentang do’a tersebut.

Sebagai seorang muslim, kita harus memiliki gambaran aturan Islam yang utuh tentang hal-hal yang patut diperhatikan pada pra pernikahan, pada saat berlangsung pernikahan, danpasca pernikahan. Sehingga seseorang yang akan, sedang, dan telah lama melalui kehidupan rumah tangga bisa menjadikan Islam sebagai pedoman.

Saat ini, perhatian mayoritas masyarakat lebih sering hanya tertuju pada seremonial pernikahan, sementara sisi penting pasca pernikahan yaitu keberlangsungan menjalani hidup baru dengan suatu aturan nyaris tidak diperhatikan. Inilah pentingnya persiapan sedini mungkin.

Menjalani kehidupan rumah tangga tak lepas dari masa-masa sulit. Permasalahan demi permasalahan mulai dari yang sederhana hingga masalah besar dan terbilang prinsipil akan mewarnai biduk rumah tangga insan. Karenanya, dalam membangun keluarga yang sakinah dibutuhkan Syari’at Islam sebagai rujukan. Tuntunan yang akan mengiringi perjalanan kehidupan rumah tangga dan keluarga.

Apa sebenarnya makna SaMaRa? Sakinah. Mawaddah. Wa Rahmah.

Sakinah yang berasal dari kata as-sakan, sama maknanya dengan al-mi’nan, berarti ketenteraman dan kedamaian. Suami merasa tenteram di sisi istrinya, istri pun merasa tenteram di sisi suaminya, ada timbal balik. Kehidupan yang seperti ini penuh dengan persahabatan.

Mawaddah maknanya adalah saling mencintai. Yang dominan di sini unsur fisik. Berdasarkan hadits, dinikahinya wanita itu karna empat perkara, salah satunya adalah kecantikan. Yang bisa memunculkan kecintaan dominan dari fisik, itu bukan sesuatu yang salah, itu fitrah. Misalnya, bagi istri, orang yang paling gagah dan tampan adalah suaminya. Begitu pula bagi suami, istrinya adalah wanita tercantik sedunia. Terdengar berlebihan, tapi begitulah gambaran mawaddah.

Rahmah berarti kesetiaan, perhatian, dan rasa sayang. Sifatnya lebih objektif, yakni kasih sayang untuk kepentingan orang yang dikasihsayangi. Hal ini didapatkan dari sisi lain cantik fisik. Contohnya, seorang istri yang sibuk mengurus anak yang sedang sakit, lalu rambutnya berantakan, namun di sinilah justru muncul rahmah. Yakni ketika sang suami melihat istrinya telah berusaha keras menjaga dan mengurus anaknya yang sedang sakit.

Keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah hanya bisa diwujudkan oleh suami yang shalih dan istri yang shalihah. Berikut adalah kriteria suami yang shalih:
 1.    Memberi nafkah
 2.    Menggauli istri dengan baik (al-’usyroh hasanah)
 3.    Melindungi istri sebagai kehormatannya
 4.    Menghukumi secara syar’i serta tidak membenci istri
 5.    Tidak boleh menjelek-jelekkan/memburukkan
 6.    Tidak boleh membencinya
  
Adapun kriteria istri yang shalihah adalah sebagai berikut:
1.    Ta’at pada Allah SWT dan suami
2.    Berhias untuk suami
3.    Mengurus rumah, menjaga dirinya dan harta suaminya
4.    Membantu suami menggapai akhirat
5.    Memergauli suaminya dengan baik

Dengan memahami makna SaMaRa, dan tahu bagaimana mewujudkannya, maka tinggal memraktekkan apa yang telah dituntun Islam.

Poligami itu Bukan untuk Rumor



Gundah. Mungkin itu yang dirasakan para istri, ketika membayangkan suaminya hendak ber-poligami. Dari pemikirannya mengatakan sah saja. Namun hati dan perasaan bicara lain. Seolah tak mau menerima, padahal ia hukum Allah yang sepatutnya diterima.

Ada sebagian orang yang berpendapat, “ya poligami memang mubah, tapi nggak harus dipraktekkan toh?” ada juga yang mengeluarkan statement, “silahkan saja kalau mau poligami, tapi jangan suami saya!”

Ungkapan-ungkapan seperti ini sedikit terdengar paradoks. Kenapa? Karena, jika seseorang telah meridhoi sesuatu, tentu tak masalah baginya untuk melakukan atau mendapatkan hal itu.

Ketika masih ada hal lain yang lebih diridhoi selain apa yang diridhoi Allah, maka hati-perasaan dan pemikirannya belum disandarkan secara total terhadap Allah SWT.

Namun ada benarnya, segala sesuatu yang mubah secara hukum, tidak harus kita jalankan. Jika ingin dan melihat ada mashlahat di sana, boleh dijalankan. Sebaliknya, jika melakukannya justru akan mendatangkan kepada maksiat dan keburukan, maka harus ditinggalkan.

Oleh karenanya, ngobrol tentang poligami bisa tak habis-habis kalau tidak dalam satu frekuensi persepsi. Hal utama yang wajib diketahui adalah hukum poligami itu sendiri yang mubah. Sebagaimana Allah tegaskan dalam firman-Nya:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa’ : 3)

Selanjutnya adalah pilihan masing-masing orang. Jadi untuk apa dirumorkan? Apalagi dibahas, ketika poligami, istri pertamanya akan cemburu dan sebagainya.

Secara praktis mari kita berfikir, bukankah setiap orang punya rasa cemburu?? Bukan lantas hanya orang yang dipoligami. Masalahnya hanya terletak pada manajemen perasaan yang diletakkan dengan baik, misalnya bagaimana caranya cemburu itu jadi terarah dan bukan cemburu buta. Kalau sudah cemburu buta, tanpa tahu fakta sudah member judgement yang tidak-tidak, tentu ini yang bahaya dan mematikan. Ini yang harus dihindari.

Nah, bagaimana jika suami yang tidak ingin poligami? Oke oke saja. Istri juga tidak seharusnya mendesak suami untuk justru berpoligami (adakah istri yang seperti ini?)

Akhir-akhir ini, banyak kasus seputar selingkuh dan main hati. Tentu ini tidak dibenarkan. Namun, mengapa ini bisa terjadi, dan apa solusinya?

Jika ada yang memberi solusi poligami, boleh-boleh saja. Hanya, yang lebih patut kita renungkan adalah apa, mengapa, dan bagaimana rumah tangganya berjalan? Sudahkah sesuai dengan koridor Islam? Sudahkah dengan sungguh-sungguh menjalankan hak-kewajiban setiap pasangan?

Marilah kita evaluasi diri kita, sebelum mengeluarkan satu-dua keputusan. Sangat mungkin, apa yang terjadi dalam hidup kita adalah ujian dari Allah untuk menaikkan tingkat diri kita atau malah sebagai teguran karna kita telah terlampau jauh dari Allah.

Pikirkan masak-masak segala sesuatunya. Karena boleh jadi apa yang kita senangi dan kita fikirkan baik untuk kita, ternyata justru mendatangkan keburukan. Sebaliknya, kita berfikir itu buruk dan tidak cocok dengan kita, ternyata justru itu yang terbaik. Kita sangat lemah untuk menduga-duga apa yang kita tidak ketahui. Sedangkan Allah SWT Maha Mengetahui segalanya.

Alih-alih menjadikannya rumor, lebih baik kita berharap kepada Allah agar Dia melekatkan diri kita pada Rabb kita, Allah SWT. Juga mendekatkan kita pada Uswah kita, Rasulullah SAW. Serta merekatkan hubungan kita pada partner hidup (suami/istri) kita, orangtua, kakak-adik, kerabat, sahabat, para pengemban risalah Islam, serta seluruh kaumnya Nabi Muhammad, Ummat Islam. [Ummu ‘Aamirah]