Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Diposting oleh
Unknown
komentar (0)
Ini adalah Challenge menulis OWOP (One Week One Paper). Temanya STORY BLOG TOUR.
Setiap member yang sudah diberi urutan melanjutkan sesuai imajinasinya di blog pribadinya.
Aku Crafty (biasa dipanggil Rini, di OWOP) mendapatkan giliran untuk membuat episode enam dalam serial STORY BLOG TOUR ini.
Cerita sebelumnya
1. Depi : LelakiYang Tertelan Waktu
2. Lisma : Sepenggal Harap
3. Kiki : Sebuah Salam dan Bayang Masa
Dan inilah episode ke-enamnya. Cekidot~
“Pemuda ini…
ya ini orangnya. Kok bisa ada di sini?” Sarno memiringkan kepalanya lalu
garuk-garuk kepala. Kardi menatap lekat wajah Karman, anak muda yang memberi
harapan baru di surau tuanya. Sejenak, Kardi mengakui gurat-gurat wajah Karman
mirip sekali dengan Kardi muda, batinnya gusar. Ia tertegun dan tampak tak
tenang. Ingatan tentang Marni menyeruak ke dalam hatinya yang kelu, dan rindu
pada sosok itu. Tetapi…
“Wes aku pamit dulu, No.” Akhirnya itu
yang ia putuskan. Segera pamit dan mencari tahu sendiri latar belakang Karman
yang telah mengaduk-aduk hatinya sejak subuh tadi.
-----
Lembayung
senja menyeringai sudah yang sudah tampak tua. Setua Kardi yang tertegun di
sudut surau, memperhatikan diri yang tertampak letih di hadapannya. Ia tak
banyak mengajak Karman bicara sepulang dari rumah Sarno. Usai menunaikan shalat
dzuhr di hari yang sudah terik itu, Kardi memberinya makan, lalu membiarkannya
terlelap melepas lelah seharian kemarin berkelana, mencari bapaknya. Kardi
merasa takdir telah menjawab gunda hatinya. Kerinduan pada Marni, berganti
dengan pertemuannya pada anak muda ini. Anak muda yang tak pernah ia pikirkan
sebelumnya, tetapi saat ini membuatnya ingin menjadi seorang bapak. Walau di
usianya yang sudah di ujung senja.
Hingga
panggilan shalat selanjutnya, suara serak Kardi membuat anak muda itu terjaga.
Matanya perlahan membuka, melihat sosok lelaki tua yang berdiri tegap walau
badannya sudah tak tegap lagi. Matanya menyibak ke seluruh sendi tubuh Kardi.
Kepalanya yang diamati dari sisi samping Kardi berdiri, belahan rambut yang
tertampak rapih menyisir jajaran rambut yang menjuntai sampai ke leher, seperti
tak terawat tapi persis seperti belahan rambutnya. Tangannya, yang diletakkan
di sebelah telinga kanannya, keriput dan coklat tua. Badannya, lengan yang
sudah melemah, dan kaki yang agak sedikit bergetar.
Matanya
mulai tak kabur, membuka dengan jelas, tubuh Kardi menjadi fokus retinanya
hingga ia terduduk. Kardi meliriknya, mendekatinya. Lalu menyentuh pundaknya
dan berkata, “ambillah wudhu, Nak. Mari shalat bareng Bapak.” Ucap Kardi tegas
namun terdengar syahdu.
Karman
menangkap kehangatan yang terpancar dari sentuhan tangan Kardi. Belum pernah ia
merasakan damai yang tercipta beberapa detik lalu. Ia mengangguk dan tersenyum
tipis kepada Kardi, yang entah perasaan dari mana membuatnya merasakan telah
menemukan yang dicari.
Kali ini
Kardi memanjangkan sujudnya sebelum salam. Hatinya memasrah. Buliran air mata
merembes di sudut matanya. Rasa sakit, pilu, dan rindu membalut jiwanya yang
kini tak merasa sepi.
“Rabbana hablana minladunka rahmah..
innaka antassami’uddua…”
Tengadah
Kardi pada Rabbnya. Tangannya gemetar menelungkap diusapkannya ke wajah dan
dada. Meresapi jemarinya yang sudah tak kokoh lagi, yang dulu menggenggam
tangan indah Marni, istrinya yang amat dirindui..
“Pak…”
panggil anak muda yang telah menjadi makmumnya seharian ini, setelah Kardi
terdiam cukup lama tanpa bergerak sedikit pun dari sejadah lusuhnya. Kardi
menoleh.
“Ya, Nak.”
Jawabnya lirih dan dalam. Hatinya bak bunga layu yang terpancar hangat oleh
cahya mentari, menyelipkan harap-harap titian kehidupan, yang akan lain dari
hari-hari sebelumnya yang sendu.
“Bapak
tinggal di sini ya? Apakah Bapak punya keluarga? Dan… kenapa taka da yang
datang untuk shalat di surau, Pak?” ada banyak tanya yang ingin segera Karman
sampaikan. Ia mengharap, jawaban-jawaban Kardi akan menjadi jawaban dari
ungkapan terakhir ibunya sebelum meninggal. Ya, harapan yang pula ada di
sanubari Kardi.
Kardi
tersenyum sekaligus terenyuh. “Mari, Nak. Kita duduk di depan teras saja.” Ajak
Kardi merangkul bahu Karman. Karman membalas senyumnya dengan seribu tanya yang
bergejolak di hati.
“Seperti
yang kau lihat, Nak. Aku hanyalah lelaki tua di penghujung usia. Mungkin
waktuku hidup, juga akan habis, seperti ibumu.” Karman merasa, setiap inci
gerak dan setiap Kardi berbicara, keyakinannya menguat, bahwa ia telah
menemukan pencariannya. Ia ingin segera bertanya apakah Kardi adalah bapaknya.
Apakah, apakah, dan apakah yang membuatnya gusar namun ingin mendengar cerita
Kardi dengan seksama.
“Tak pernah
ada sebelummu, yang menjadi shaf shalat di surau ini. Aku merindukan sepasang
kaki yang melangkau ke surau, tapi harapanku selalu pupus setiap usai kumandang
adzan, dan aku harus segera tegakkan shalat. Sendiri dan sendiri lagi. Sepi…
Namun hari ini kau telah menghidupkan semangatku, Nak!” Kardi tersenyum bangga
pada Karman. Yang telah menjadi makmum yang diharap-harapnya selama ini adalah
anaknya sendiri. Sebuah dugaan yang ia harap tak akan meleset lagi.
“Tapi Pak,
saya sebenarnya nggak bisa shalat. Saya Cuma ngikutin Bapak.” Kardi tetap
tersenyum. Entah aliran dari mana, Karman berusaha jujur pada lelaki tua ini.ia
merasa dekat, sehingga tak perlu menyembunyikannya.
“Tidak apa,
Nak. Nanti akan Bapak ajari.” Naluri kebapakannya muncul lagi.
“Aku tak
ingin bicara tentang masa laluku, Nak. Karena… ia adalah cerita yang teramat
panjang. Yang mengantarkanku pada ketundukan, dan aku mengenal diriku seutuhnya,
sebagaimana aku ingin sekali mengenal Rabbku, Allah. Surau inilah yang
mengingatkanku pada panggilan-panggilan-Nya. Telah menepis masa laluku yang
kelam. Dan.. mengobati rinduku pada istriku. Ya, istriku…” Kardi terdiam,
menunduk dan mengusap matanya. Karman bergidik, batinnya makin gelisah.
Udara-udara
di senja itu menjadi sibak tabir antara dua orang lelaki yang dipaut usia. Keduanya
tak saling mengenal namun obrolannya merekatkan jiwa yang kesepian.
“Marni…”
ucapnya lirih.
Next story, cek blog Mas Imron yuk, :)
Diposting oleh
Unknown
komentar (0)
“Ma… Anna kan udah 25 tahun. Kapan mama setuju Anna menikah?” Tanyaku di sore hari saat aku melihat mama membaca buku. Kebiasaan mama sore-sore adalah membaca.
Aku bangga padanya yang telah mewariskan darah kepenulisan padaku. Mama seorang wartawan koran nasional di masa mudanya dan memilih resign setelah menikah. Sama dengan papa, selain pekerjaan utamanya sebagai dosen, ia seorang penulis. Dari situlah papa dan mama bisa kompak menerbitkan buku-buku karyanya.
Aku kemudian banyak belajar sendiri dari apa yang kulihat dari tulisan-tulisan mama dan papa. Mereka berdua adalah penulis idolaku. Kelak, aku ingin sekali menikah dengan seorang penulis juga. Hmmm, rasanya indah dan menyenangkan. Pasti romantis. Setiap hari akan dapat puisi dari pujaan hati. Seperti papa ke mama.
Hanya… Memang mama banyak berubah setelah papa meninggal satu tahun ini. Mama tak lagi menulis. Dan sepertinya sangat kehilangan sosok pria romantis yang selalu ada di sisinya. Itu sih dugaanku. Aku tak tahu pasti apa yang mama risaukan.
Pasca papa meninggal, kehidupan kami berubah. Aku harus bekerja untuk penuhi kehidupan sehari-hari. Aku sangat bahagia bisa menghidupi keluarga dari keringatku sendiri. Tapi…. Apakah ini alasan mama belum bersuara tentang pernikahanku. Mama takut kehilanganku? Benarkah.
Di kamar mama terlihat santai, namun pertanyaanku seketika mengubah raut mukanya yang tenang. Mama diam, lalu berdiri dan pergi meninggalkanku di kamarnya sendirian. Sepertinya aku masih salah memilih momen. Entah kapan waktu yang tepat bicara pada mama. Aku pun diam. Tak tahu harus apalagi. Kupikir aku sudah bicara pelan-pelan, tapi mama tetap tidak mau bersuara.
Aku merasa sudah dewasa, dan pantas untuk menikah. Kenapa sih, mama selalu bungkam kalau kutanya tentang pernikahan. Kapan aku mengakhiri masa lajang ini. Pikiranku kacau. Aku memilih merebahkan badanku di kasur empuk ini, sampai terpejam, berharap mimpi mama sudah setujui keinginanku.
**
Pagi-pagi aku berangkat ke Cafe, tempatku bekerja. Hatiku galau sedari kemarin, masih berkecamuk. Tapi aku berusaha menjalankan pekerjaan tanpa terganggu dengan otakku yang meracau.
“Mba Anna, kata papa tolong siapkan tiga porsi pempek kapal selam dan tiga cappuccino ya. Sebentar lagi akan ada tamu. Makasih.” Pinta said, putra kedua Bu Ennie, pemilik Cafe ini. Ia tersenyum sebelum meninggalkanku untuk duduk di sudut cafe. Aku sengaja memperhatikannya yang sibuk dengan buku dan pulpen. Ya, dia sedang menulis, yang entah tentang apa.
Tempat ini sangat luas. Cafe berada di beranda rumah dan tepat di depan jalan raya. Mereka tinggal pula di sini. Oleh karena rumahnya luas dan bertingkat, setiap hari akan ada adegan aku berpapasan dengan lelaki itu, sepulangnya bekerja atau ketika ia keluar rumah entah ke mana. Atau bahkan jika ia menyengajakan diri duduk di cafe.
“Baik Mas.” Jawabku sesingkat mungkin. Agar mempersingkat degup jantungku yang tak karuan.
Aku segera menyiapkan permintaannya. Seusai itu, hatiku melambung, mengawang-ngawang. Aku terlalu banyak galau. Kapan move onnya sih. Gerutuku dalam hati.
“Mbak, aku boleh minta bikinin menu kesukaanku?” Hatiku berdegup lagi tak karuan.
“M, menu apa ya, Mas?” Ucapku ragu
“Kamu nggak tau apa yang aku suka?” Oh. Kenapa dia harus banyak bertanya. Aku menggeleng.
“Kupikir kamu inget semua yang kamu bikin buat aku.” Deg. Aku mengangkat kepalaku heran, dan kaget.
“Eh mmm ya udah kamu bikin aja creamy late. Jangan terlalu manis. Dan jangan pahit.” Dia berlalu
Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya disaat jantungku hampir copot karena percakapan singkat itu.
“Ini, Mas.. Silahkan.” Ujarku singkat, padat, jelas dan pergi begitu saja tanpa ingin ada perbincangan lagi.
**
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku berangkat ke cafe seperti biasa dan kali ini berpapasan dengan lelaki itu. Ia terlihat tergesa keluar cafe dan sepertinya tidak melihatku. Tapi lihat, bahkan hanya sekadar berpapasan beberapa detik saja jantungku berdegup tak karuan. Oh! Kapankah penderitaanku ini berakhir.
Untung saja Mbak Nana memanggil, memintaku membereskan meja yang sudah ditinggalkan pengunjung. Menjelang petang begini, biasanya pengunjung semakin ramai. Aku membereskan meja dan menemukan sebuah buku tergeletak. Sepertinya milik pengunjung sebelumnya yang tertinggal. Judul bukunya Ja(t)uh. Unik sekali judul buku ini, desisku.
Halaman pertama kubuka. Ada nama Said. Oh, buku milik Mas Saidkah? Aku melihat beberapa sticky note menempel di beberapa bagian.
Halaman 69
Kita berjumpa
Saling memandang dan menyapa.
Meski jarang dan bukan sekarang
Setidaknya, kita bisa bertegur sapa
Tapi aku,
Aku hanya merindumu dalam aksara
Aku hanya merindu bagian darimu yang hadir dalam rentetan kata-kata yang kau tulis untuk kubaca
Menatap, membuatku terkesiap tak siap
Menyapa, memicu gejolak tak berupa
jadi, cukupkan jiwa kita bercengkerama dalam aksara
Di hadapanmu aku beku
Di dekatmu aku ragu
Hanya dalam aksara aku bebas jatuh cinta
Dan di sana pula, aku bisa gila.
“Ah, sebuah puisi cinta. Mengapa Mas Said menandai bagian ini? Apa Mas Said sedang jatuh cinta? Pada siapa? Pastinya ia adalah orang yang sering ditemui Mas Said. Mungkinkah teman kerjanya?” Batinku meracau seraya membuka halaman yang ditandai lainnya.
Halaman 86
Kamu ingin tahu bagaimana rasanya seketika lupa cara bicara? Jadilah aku. Lalu, temuilah dirimu. Esok, lusa, atau kapan pun kamu bersedia. Maka, kamu akan merasakan getar-getar itu : gempa bumi pribadi yang membuat jiwamu seolah luluh tanpa daya.
“Jadi, Mas Said benar-benar mencintai wanita ini?” Ada yang terasa tersayat. Hatiku tiba-tiba terasa perih hingga seakan fisikku ikut lumbung. Aku kembali membalik halamannya, kali ini aku langsung membuka halaman terakhir
Halaman 163
Kita telah belajar banyak dari s p a s i, bahwa hadirnya jarak telah mencipta begitu banyak makna. Namun, rasanya teramat naif bila kini aku berkata: aku begitu menikmati keterpisahan ini –detik-detik ketika hanya bisa bicara pada udara. Waktu memang terlalu angkuh untuk mengerti betapa jahatnya rindu yang mendera. Hingga bila kita mau jujur melihat ke balik jiwa, ada luka di sana, yang tak pernah butuh pemulihan apa-apa kecuali jumpa.
Apa yang semalam turun bersama hujan –apakah harapan atau sekadar kenangan? Barangkali hanya waktu yang benar-benar tahu. Tapi bukankah waktu ada di pihak kita? Jadi tak ada lagi yang perlu kita takutkan kecuali Tuhan. Tidak badai, tidak juga gempa. Terlebih hanya angin biasa.
Aku akan menjemputmu di sebuah taman tanpa bunga. Di taman itu, mungkin juga tak ada kolam air mancur, patung-patung artistik, atau hiasan apa saja sebab kehadiranmu saja sudah mengindahkan semuanya.
Aku menduga, Mas Said akan segera menikahi wanita ini. Hatiku semakin bergemuruh. Tepat saat itu, Mbak Nana menepukku dari belakang, “Kenapa nggak segera dibereskan, Na?”
“Oh, iya, Mbak. Eh, ini ada buku yang ketinggalan. Kayaknya punya Mas Said.” Kataku gugup sembari sebisa mungkin mengendalikan air mata yang sudah menggenang.
“Oh, sini biar aku simpan. Nanti aku bilang ke Mas Said kalo dia udah balik.” Jawab Nana
“Iya Mbak.” Jawabku singkat dan segera membereskan meja
“Anna, kamu sakit? Kok wajahmu pucat gini?” Pertanyaan Mbak Nana membuat pertahananku runtuh. Seketika itu, aku berhamburan.
Aaah. Aku ingin menikah. Menikah dengan siapa pun, yang membuatku tenang dan terjaga. Ingin rasanya menikah dengan orang yang menarik hatiku. Tapi rasanya tak mungkin. Dia berada dalam strata yang memisahkan diriku dan dirinya. Apalagi, sekarang aku tahu bahwa dia sudah mencintai seorang wanita dan akan segera menikahinya.
Ya, seperti kata orang bijak. Menikah dengan orang yang kita cintai adalah anugerah. Tapi mencintai orang yang kita nikahi adalah kewajiban. Detik ini, aku memilih pasrah. Siapa pun jodohku, aku ikhlas. Toh hingga saat ini mama juga belum buang suara. Beliau seolah masih menganggapku anak kecil.
**
PoV Said.
Aku mengobrak-abik ranselku. “Aaargh dimanaa buku itu?” Aku mengumpat dalam hati. Di saat yang sama, sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Mbak Nana, kepala pelayan di cafe mama.
“Mas, bukunya Mas Said ketinggalan di cafe. Sudah saya simpankan. Cuma ngasih tahu biar mas Said ga bingung nyari-nyari.” Ah, ternyata ketinggalan di cafe.
Ah iya, pantas, tadi aku terburu-buru pergi karena melihat Anna datang. Aku bukannya tidak ingin bertemu Anna. Bagaimana mungkin aku tidak ingin bertemu dengan wanita yang berbulan-bulan ini membuatku tersenyum dan merutuki diri di saat yang bersamaan. Namun, saat ini aku sedang berusaha berdamai dengan hatiku. Karena aku tahu, dia tidak pernah peduli denganku. Bagaimana mungkin dia peduli, bahkan minuman favorit yang sering aku pesan di cafe mama saja ia tidak ingat. Dia selalu berbicara singkat padaku. Sepertinya memang tidak ada hal yang menurutnya menarik untuk dibicarakan denganku. Maka, aku putuskan untuk berhenti. Aku tiba-tiba menjadi pria paling pengecut di dunia. Biar saja.
Aku kembali ke cafe beberapa hari setelah itu. Kesibukan kantor membuatku berangkat saat cafe belum buka dan pulang setelah cafe tutup. Di satu sisi, aku bersyukur karena tidak perlu bertemu Anna walau hatiku mengiba, meminta untuk sekadar menatap wajahnya, atau mendengar suaranya. Biarlah. Nanti juga terbiasa.
“Mbak Nana, saya mau ambil buku saya yang kemarin ketinggalan.” Kataku setelah menyapanya
“Ini, Mas.” Mbak Nana menjawab sambil menyerahkan buku. Di saat yang sama, seorang pelayan keluar dari dapur.
“Pelayan baru ya, Mbak?” Tanyaku
“Iya, Mas. Ngegantiin Anna.” Jawab Mba Nana
Deg. Anna sudah nggak kerja disini lagi. “Lho, emang kenapa Anna mba, kok berhenti?” Tanyaku sambil berdehem karena tiba-tiba saja suaraku tercekat
“Eemm. Anu, Mas. Apa.. Itu.. Dia mau kerja di dekat rumahnya biar nggak kelamaan ninggalin mamanya. Kebetulan toko buku di deket rumahnya pas buka lowongan juga.”
“Oh ya sudah, Mbak. Saya masuk dulu.” Aku sudah tidak fokus dengan jawaban Mbak Nana dan memilih untuk segera pergi.
Aku kembali ke kamar dengan hati penuh lebam. Aku sudah tahu jika Anna tidak suka denganku. Namun tetap saja, aku ingin sekali-kali bertemu agar hatiku tidak meronta, walaupun di saat bersamaan, jantungku berdegup kencang seperti habis lomba lari.
All I want is nothing more
To hear you knocking at my door
Cause if I could see your face once more
I could die as happy man I’m sure
Lagu Kodaline terputar secara otomatis di kepala. Aku sudah tahu jika Anna tidak suka denganku. Tapi sebelum hari ini, aku merasa masih punya harapan. Harapan bahwa suatu saat aku akan menjadi pria pemberani dan mengungkapkan perasaanku pada Anna, tak peduli ia akan menjawab apa.
Tapi Anna sudah pergi. Ya Tuhaaan apa yang harus aku lakukan?
When you say your last goodbye
I died a little bit inside
I lay in tears in bed all night
Alone without you by myside
**
Lima tahun berlalu sejak Anna meninggalkan cafe. Tidak ada yang berubah kecuali dua hal. Pertama, mama dan papa yang sudah mulai bawel untuk memintaku menikah. Kedua, aku mulai sering keluar kota untuk menghadiri undangan bedah buku. Ya, tanpa kusangka, buku pertama yang aku terbitkan secara mandiri laris. Bahkan siang ini, aku akan meluncurkan novel pertama sekaligus buku ketiga yang kali ini lewat sebuah penerbit ternama nasional. Ah, aku tiba-tiba merasa serupa Zainudin yang menjadi pujangga karena ditinggal Hayati.
“Acaranya di mana, Mas?” Pesan singkat dari mama masuk. Aku membalas dengan menyebutkan lokasi peluncuran buku.
“Maaf ya, Mas, mama dan papa nggak bisa dateng hari ini. Tapi mama udah bilang ke semua pelayan biar dateng ke peluncuran bukumu, Mas. Cafe sengaja mama suruh tutup hari ini. Pokoknya spesial deh buatmu! We Love You. ” Pesan dari mama masuk lagi
“Hh. Mama, buat apa sih..” Aku menggerutu dalam hati. Tapi, biarlah. Mungkin mamasaking bahagia karena novelku dilirik penerbit nasional.
**
Acara peluncuran novelku berjalan lancar. Novel ini memang berbeda dari biasanya yang kutulis. Novel sad ending. Tiba saat moderator membuka sesi tanya jawab, seseorang dari gerombolan siswa berseragam putih abu-abu bertanya, “Kak, kok novelnya sad ending,sih, Kak? Pengalaman pribadi ya, Kak?”
Pertanyaan itu membuatku tercekat. Sudah lima tahun tapi perasaanku tidak berubah. Nama Anna tidak pernah bergeser seinchi pun dari tempat pertama kali ia kuletakkan.
“Eemm. Yaah bisa dibilang begitu.” Jawabku sekenanya yang langsung membuat gerombolan anak SMA itu ber-ciye ria.
“Duh, anak SMA, seneng banget kalo udah baper-baperan gini.” Aku membatin sambil geli sendiri
“Kak, ceritain dong, Kak kisah cinta sad ending kakak. Sama kayak yang di novel nggak, Kak?” Anak lain di gerombolan itu masih memberondong pertanyaan
“Eem. Kisah sad ending saya, sudah lima tahun yang lalu. Saat itu, saya menyukai seorang pelayan di cafe milik mama saya. Tapi, tiba-tiba saja dia menghilang sebelum saya mengungkapkan perasaan saya.” Entah ada angin apa, aku menjawab pertanyaan itu dengan apa adanya. Ya! Apa adanya. Hal yang sudah lebih dari lima tahun aku sembunyikan dari siapa pun.
“Sekarang masih menyimpan rasa nggak, Kak?” Seseorang yang lain nyeletuk dari belakang
“Masih” Jawabku ringan terbawa suasana. Suara gerombolan anak SMA itu makin riuh rendah. Tapi di pojok lain, ada yang rusuh juga. Oh my God! Pelayan cafe mama! Bagaimana bisa aku benar-benar lupa kalau mama menyuruh mereka datang ke sini! Aih.
**
Beberapa hari setelah itu, aku ke cafe dan langsung disambut Mbak Nana. “Mas, anak-anak nanyain, siapa pelayan cafe yang dimaksud Mas Said pas di peluncuran buku kemarin.” Ujar Mbak Nana sambil nyengir
“Ish, apa sih, Mbak. Nggak usah dibahaslah. Haha.” Jawabku kikuk
“Anna ya, Mas?” Mbak Nana bertanya singkat. Aku hanya diam saja.
“Saya mau ngaku sesuatu Mas.” Tiba-tiba nada bicara Mbak Nana serius
“Ngaku gimana, Mbak?”
“Sebenernya, pas Bu Ennie nyuruh kita dateng ke peluncuran novelnya Mas Said itu, saya ngabarin Anna. Dan.. Anna dateng. Dia sengaja nggak duduk di acaranya Mas Said. Tapi dia menyimak acara itu dari awal sampe akhir, termasuk pas Mas Said bilang…” Saat itu, aku rasanya rela ditabrak kereta dan mati seketika daripada menerima kenyataan bahwa pengakuan atas perasaanku yang sederhana berubah menjadi serumit ini.
“Dan… Anna mengajak bertemu setelah itu, meminta saya ngasihin ini ke Mas Said.” Lanjut Mbak Nana sambil menyerahkan secarik kertas
Aku membacanya, mencoba menguasai diri lalu bertanya pada Mbak Nana, “Terus bagaimana?”
“Bagaimana apanya mas?” Mbak Nana bingung. Aku juga tidak tahu maksud pertanyaanku. Aku hanya merasa perlu mengatakan sesuatu untuk menetralisir perasaanku saat ini.
“Sebenernya Mas,“ lanjut Nana, “Anna dulu suka sama Mas Said. Tapi pas baca buku Mas Said yang ketinggalan dulu, Anna ngiranya Mas Said lagi jatuh cinta sama orang lain. Anna patah hati dan memutuskan keluar dari cafe. Katanya dia nggak akan kuat kalau tiap hari harus ketemu Mas Said.” Setelah lima menit berlalu tanpa satu kata pun keluar dari mulutku, Mbak Nana memutuskan untuk beranjak. Aku kembali membaca surat singkat dari Anna.
“Seandaikan aku tahu dulu kamu mencintaiku, aku pasti akan kuat seberapa pun beratnya. Seandainya dulu kamu berani memintaku, aku pasti akan bertahan. Tapi aku fikir, kamu tidak memahami cinta sejati. Sekarang, aku sudah menikah dengan orang lain. Lelaki baik yang mencintaiku karena kecintaannya kepada Tuhannya. Lelaki yang telah berhasil meluluhkan hati mama karena ketulusannya. Maka tidak ada gunanya kamu menungguku. Carilah perempuan yang baik. Semoga Allah melindungimu, Mas Said.”
Aku menahan nafas. Serpihan-serpihan yang kusebut cinta memudar, memendar, menghilang. Aku merasa ada yang salah dengan rasa seperti ini. Ah. Dia telah memilih jalannya. Aku, hanya lelaki yang bahkan tak mengerti arti cinta. Cinta yang bukan sekadar nafsu. Cinta yang bukan sekadar untuk diucapkan.[]
Rini-Mumu. 9 Oktober 2015
* Cerita ini hasil karya Rini & Mumu dalam Tantangan Duet OWOP dari RuNa
** Sebenernya judul dari Mumu, “Terajam Diam”
***Cuma karena ini blogku jadi pake judul buatanku :D Pisss ya, Mumu
Label:
cerita
,
cerita cinta
,
cerita remaja
,
cerpen
,
cerpen remaja
,
CerpenDuet
,
cinta
,
Duet RuNa
,
kisah cinta
,
love
,
MalamTantangan
,
oneweekonepaper
,
Remaja
,
RinidanMumu
,
Tantangan duet RuNa
,
TantanganDuet
,
TantanganOWOP
Diposting oleh
Unknown
komentar (0)
Tunggu. Menunggu. Adalah kata yang banyak diucapkan orang dengan nada kesal. Tanpa perlu ditanya, seorang yang telah menunggu lama, biasanya akan bosan, malas, dan marah.
Benarkah setiap orang demikian?
Nyatanya di detik ini aku masih menunggu. Menunggu waktu bergulir pada giliranku. Menunggu momen ketika arsy berguncang karenanya. Menunggu… dia yang kelak merajai hati.
Aku, rasa-rasanya telah mati rasa. Bosan, malas, dan marah tak terpatri dalam dadaku. Di setiap fajar, aku bergegas untuk memilin sayur agar dimasak dan disajikan selagi hangat demi ibu dan bapak yang sudah menua. Di setiap 10 jam selanjutnya kuhabiskan waktu di kampus untuk menyelesaikan studi magisterku. Di sela 10 jam tersebut, kusigapkan diri dalam organisasi yang kugeluti sejak SMA. Dan di sisa waktu terakhir, kugunakan untuk membuka lapak strawberry yoghurt di babakan sekitar kampus.
Aku, hampir tak ada waktu untuk mengkhayalkan seorang gadis yang kelak jadi istriku. Juga tak membayangkan apa-apa selain kerja kerja dan kerja.
“Tapi Gun, namanya cowok itu ya maju duluan! Mulai duluan! Masa kamu mau nunggu cewek turun dari langit! Mimpi kamu!” Ya. Hidupku memang seperti mimpi. Siapa yang kira, anak seorang loper koran dapat melanjutkan kuliahnya? Siapa pula yang kira, sarjana sastra tapi membuka bisnis buah strawberry. Ah. Ucapan Doni teman sekelasku di magister yang sudah beristri satu beranak dua tadi hanya terdengar sumbang di telingaku.
Di 25 tahunku ini. Aku masih belum memikirkan wanita. Walau ibu dan bapak sudah mulai gusar. Mereka takut, anaknya yang seperti kulkas ini tak akan pernah jatuh hati. Tak akan pernah ada wanita yang mengalihkan hidupnya.
Selama 15 tahun terakhir aku hampir tak pernah kenal dekat dengan wanita. Satu-satunya wanita yang akrab denganku selain ibu hanya teman SD ku. Yang dulu, saat aku tak disengaja terpaksa duduk satu bangku di kelas. Untungnya… ketika itu aku belum baligh, sehingga aku tak perlu menanam benih-benih kasih cinta pada gadis yang sering kupanggil Uni itu.
Entah bagaimana kabarnya. Aku pun telah melupakan namanya. Seakan kata wanita adalah virus dalam otak, sehingga tak betah bertahan dalam memoriku.
Dan sekarang. Aku masih sama seperti siapapun yang mengenalku dulu.
Ibu dan bapak hanya pasrah. Toh pun mereka tak dapat berdaya banyak. Aku biayai sendiri kuliahku, makan minumku, bahkan segala kebutuhan rumah ini.
Tapi, aku kini lelah.
Entah mengapa, ketika aku melihatnya di sudut jendela tadi pagi, ada sesuatu yang lain melintasi hatiku. Entah apa itu. Namun aku tahu ini sesuatu yang belum pernah kurasa sebelumnya. Aku yakin ini berbeda dari diriku biasanya.
Dia perempuan.
Usianya seperti 5 tahun di bawahku. Aku menatapnya ketika ia menyemai padi di sawah dekat rumah. Aku baru melihatnya. Hari-hari sebelumnya hanya nenek tua sekitar 60 an tahun yang kulihat dari bilik jendela. Ini bukan nenek tua. Melainkan seorang gadis.
Keherananku berpangkal dari waktu yang seakan terhenti kala matanya memandang mentari di pagi itu. Dia tampak bagai bidadari turun dari langit. Sungguh! Aku hanya mampu melihat siluetnya dari sini. Siluet yang terbentuk bayang layaknya cahaya yang berpendar anggun dalam dinginnya atmosfer lintang tinggi. Ya! Aurora. Kemilau cahayanya yang terang menyerupai fajar di pagi hari…
Dan. Pagi ini mataku terbuka amat lebar. Gerak hatiku ikut menggerakkan kakiku melangkah ke arah kepastian. Aku bukan lagi pujangga yang tak jelas pada siapa hati beradu.
Kini saatnya aku melihat dunia lebih lebar, lebih luas, lebih dari sekadar apa yang ada di selingkaran retinaku. Tak terelak lagi, bahwa aku butuh wanita. Aku sangat membutuhkan sosok itu. Hatiku kering dan amat terasa kerinduannya. Oh Gadis… aku ingin melihat duniamu, masuklah ke dalam duniaku ini. Agar kau tahu, arti kita adalah menyatukan duniaku dengan duniamu. Agar aku menjadi ksatria yang perkasa karena sentuhan lembutmu. Dan engkau, menjadi indah dalam sebuah perlindunganku.[]Crafty Rini Putri
24 September 2015
23.13
Diposting oleh
Unknown
komentar (0)
“Hari ini harus menginap di Jakarta..” desisku dalam hati
Crowded dengan banyak urusan, ditambah lagi tubuh perlu segera diistirahatkan. Apalagi kubawa ‘Aisyahku, si kecil manis yang baru satu setengah tahun usianya. Aku termenung, berfikir dan terus berfikir. A..ha!
“Mba, hari ini..bolehkah bermalam di baitul ilmi?”
Begitu bunyi smsku pada salah seorang teman, yang tinggal di Baitul Ilmi, Asrama Mahasiswi-nya MHTI Chapter UNJ.
“Boleh.. Ditunggu ya, :)” jawabnya singkat melalui pesan singkat elektronik, melegakan hatiku.
***
Semilir udara membawaku ke sebuah komplek penduduk yang dekat dengan kampus UNJ. Komplek padat yang diisi oleh banyak penjual makanan dan minuman. Ini kompleknya Mahasiswa UNJ, gudangnya kos-kosan..
Setibanya aku di gerbang rumah tingkat pink, aku mengetuk dan mengucap salam. Ramai orang menjawab salamku dan mempersilahkanku masuk. Rupanya mereka sedang meeting asrama, jadi semuanya kumpul di aula asrama.Salah seorang di antaranya langsung menawarkanku,
“Kak, yuk tidur di kamarku aja. Kakak istirahat aja dulu dengan ‘Aisyah. Ayo Kak kuantar...” aku mengangguk, senyum.
Adik manis itu mempersilahkan aku masuk ke kamarnya, cepat-cepat ia bawakan kasur khusus untuk kami. Setelah duduk di kasur, ia bawakan segelas air putih besar. Masya Allah..
“Wah syukran ya Dek... Tau aja nih!” ia senyum-senyum sumringah
“Sip.. Oke Kak. Kakak istirahat dulu. Kalau ada apa-apa bilang ya Kak.. Aku lanjutin rapat di aula..” ujarnya bersemangat, dan ramah. Ia balik arah ke aula yang tak jauh dari kamarnya. Tak lama, ia datang lagi,
“Kak, udah makan belum? Yuk Kak makan dulu, aku punya rendang telur,” kali ini senyumnya hangat bersahabat
“Udah Dek. Makasih banyak nih..” ucapku sambil tersenyum dan dijawab lagi dengan senyumnya
***
Malam semakin lama semakin larut. ‘Aisyahku semangat bermainnya belum juga surut. Adik manis tadi bersama adik lain di sana mengajaknya bermain, sampai capek, dan terkantuk-kantuk. Mereka menemaniku dengan ‘Aisyah, sambil mengobrol tentang potensi dan passion seseorang pada bidang tertentu. Aku sharing pengetahuan yang kudapat di kuliah BK. Asik sekali obrolan kami, hingga akhirnya ‘Aisyah mulai rewel mengantuk.
Langsung kukeloni putri kecilku ini, dan tak perlu waktu lama, ia tertidur pulas. Adik-adik yang lain ikut mengantuk dan tidur di kamarnya masing-masing.
***
“Kak, sudah sholat belum?” tanya adik manis di kamar mungil ini, sekitar waktu fajar.
“Oh iya Dek..” kulangkahkan kakiku untuk berwudhu dan sholat. Di aula, ia telah menyiapkan sajadah dan mukenanya untuk kupakai. Luar biasa adik ini.
Seusai sholat, ia bertanya lagi tentang sarapan pagi. Ia mengajak ‘Aisyahku dan bersama adik-adik lainnya keluar rumah untuk membeli nasi uduk.
Kugunakan pagi itu untuk membereskan kamar dan mengobrol dengan Mba Asrama di sana. Asyik sekali kami mengobrol, tentang dakwah, dan lainnya, sampai ‘Aisyah datang. Saat aku mau membayar nasi uduk, adik manis itu menolak. Ia beralasan bahwa itu termasuk suguhan kepadaku, dalam rangka memuliakan tamu. Luar biasa.
***
Pagi yang indah. Diwarnai persaudaraan yang indah. Cinta yang indah. Kasih sayang yang indah. Sungguh indahnya ukhuwah Islamiyah...
Aku belajar tentang ketulusan. Tentang persaudaraan.
Sesuatu yang dapat menumbuhkembangkan cinta. Yang hanya mekar bersemi bak bunga-bunga di taman dakwah.
Malam pertama di Baitul Ilmi. Kesan yang sangat indah dan terkenang di sanubari.
Label:
artikel
,
cerpen
,
inspirasi
,
Malam Pertama di Baitul Ilmi
,
mhti
,
rumah
,
Rumah Asrama MHTI Chapter UNJ
Diposting oleh
crafty rini putri
komentar (0)
Inilah realita, banyak yang tidak sekolah!
Di tengah-tengah kota, apalagi di pelosok desa!
Berjuta anak Bangsa tak mampu terus sekolah!
Karna biayanya saja sudah semakin menggila, Hey!
Hey, Hey, Hey, Pendidikan!
Bukanlah perusahaan yang orientasinya uang, Hey!
Hey, Hey, Hey, Pendidikan!
Bukanlah formalitas yang penuh dengan kekosongan!
Katanya pendidikan harus semua orang!
Yang dilindungi dan dijamin oleh undang-undang!
Hey, Hey, mana buktinya, hanyalah sampah belaka!
Ternyata yang sekolah hanyalah yang berduit saja!
Pendidikan di sini tak pernah berubah!
Seperti di era jamannya penjajah!
Di mana rakyat jelata tak bisa sekolah!
Yang bisa hanyalah kelompok yang punya kuasa!
Yang bisa hanyalah kelompok yang berduit saja!
Hey, Hey, Pendidikan!
Begitulah secuplik lirik lagu yang kudengar di angkot tadi siang di perjalananku ke kampus. Sosok dekil itu adalah pengamen, ia menyebut dirinya sendiri sebagai seniman jalanan. Ini bukan kali pertama aku mendengarkan pengamen bernyanyi di angkot. Sering, sangking seringnya aku selalu siap untuk merekam suara pengamen-pengamen lewat HP. Tapi pengamen macam yang satu ini belum pernah kutemui sebelumnya. Ya, lirik lagunya. Kalau dosen, guru, mahasiswa, atau pelajar bicara pendidikan, tentu itu biasa. Tapi kalau yang bicara berasal dari kalangan kurang terpelajar, baru kali ini kudengar jeritannya.
”Permisi, Kak!” sapaan pengamen itu membuyarkan lamunanku. Segera kuambil uang ribuan dan kuberikan surat yang tadi sudah kusiapkan. Ia tersenyum tulus.
”Terimakasih, Kak! Mari, kak!” ucapnya lagi, berpamitan dengan lembut. Pemuda itu turun saat angkot berhenti di pertigaan jalan. Lalu angkot melesat lagi. Kulihat ia dari angkot, ia membaca tulisan di secarik kertas yang kuberi. Isinya,
” Selamat berjuang, Kawan! Sampai bertemu lagi...”
Pemuda itu melihat angkot yang semakin menjauh. Ia tersenyum haru.
**
Sampai di kampus, aku terus terbayang-bayang kejadian tadi siang. Itu hanya satu contoh jeritan-jeritan rakyat di kalangan bawah. Ah, aku masih jauh lebih beruntung. Walaupun aku bukan orang kaya, tapi aku tetap bisa sekolah tinggi. Teman-temanku di kampus, mereka mudah saja merogoh kantong untuk kebutuhan mereka, walaupun sebenarnya nggak butuh-butuh amat. Sepatu masih bagus, belum juga sampai sebulan dibeli, udah mau ganti yang baru. Belanja ke mall udah jadi agenda rutin tiap bulannya, yang nggak kurang dari lima ratus ribu! Huft! Aku sih, nggak separah mereka itu memang. Tapi, aku masih bisa makan, masih bisa beli buku kuliah, masih punya tempat tinggal, ngekos lagi! Dan semua itu kunikmati bukan dari kerja kerasku sendiri, tapi keringat orangtuaku! Aku disekolahkan tinggi oleh orangtuaku, tapi setiap bulan aku masih saja menengadahkan tangan untuk minta jatah bulanan. Tidak tanggung-tanggung, plus kadang-kadang aku masih menyakiti hatinya. Astaghfirullah...!
Sudah bertahun-tahun aku sekolah dari kecil hingga hampir memasuki kepala dua. Ya… sekitar 13 tahun. Tapi hasilnya? Aku masih belum bisa menjadi generasi cerdas, dewasa, dan memiliki keterampilan. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang kependidikan negri ini. Terlalu banyak teorinya, jadi malas aku menghafalnya, nggak jelas sih…! Wajar saja kalau hasilnya ya begini-begini saja. Tak dapat diandalkan, tak dapat dibanggakan. Seperti teman-temanku! Dan aku?
Kuingat lagi pengamen tadi siang. Wajahnya memang pucat, karna debu, tapi ada keyakinan _iri dari wajahnya itu. Cara ia membawakan lagu dengan gitar juga enak didengar. Santai dan bersahaja. Tidak slenge’an. Usianya masih belasan tahun, pendek, kurus, hitam pula. Dari mana ya ia belajar bermain gitar dan menyanyi? Lirik lagu itu, diakah yang membuatnya? Atau siapa yang mengajarkannya? Ah, aku ingin bertemu lagi dengannya.
**
”Put!! Woy! Bengong aja, Lo!” Uci menepuk pundakku agak keras. Aku hanya tersenyum tipis.
“Kenapa sih, muka Lo ketekuk-ketekuk kayak baju belom disetrika ajah!” Aku tetap diam.
“Ih, kesambet ntar lho!” Ia menunjuk-nunjuk mukaku.
“Ci, Lo pernah nggak sih mikir, tentang udah berapa tahun kita belajar di sekolah… udah berapa banyak uang yang kita keluarkan? Salah, salah, bukan kita, tapi uang yang udah dikasih orangtua kita untuk biaya pendidikan kita? Gimana dengan mereka yang nggak punya duit tapi pengen sekolah?” kugoyang-goyangkan pundak Uci. Uci mengeleng.
“Emang penting gituh?”
“Ya ampun Uci…!” Mengapa teman-temanku tak berfikir seperti pengamen tadi siang ya? Padahal mereka kan dari bangku sekolah.