Aurora, Mengalihkan Duniaku



Tunggu. Menunggu. Adalah kata yang banyak diucapkan orang dengan nada kesal. Tanpa perlu ditanya, seorang yang telah menunggu lama, biasanya akan bosan, malas, dan marah.

Benarkah setiap orang demikian?

Nyatanya di detik ini aku masih menunggu. Menunggu waktu bergulir pada giliranku. Menunggu momen ketika arsy berguncang karenanya. Menunggu… dia yang kelak merajai hati.

Aku, rasa-rasanya telah mati rasa. Bosan, malas, dan marah tak terpatri dalam dadaku. Di setiap fajar, aku bergegas untuk memilin sayur agar dimasak dan disajikan selagi hangat demi ibu dan bapak yang sudah menua. Di setiap 10 jam selanjutnya kuhabiskan waktu di kampus untuk menyelesaikan studi magisterku. Di sela 10 jam tersebut, kusigapkan diri dalam organisasi yang kugeluti sejak SMA. Dan di sisa waktu terakhir, kugunakan untuk membuka lapak strawberry yoghurt di babakan sekitar kampus.

Aku, hampir tak ada waktu untuk mengkhayalkan seorang gadis yang kelak jadi istriku. Juga tak membayangkan apa-apa selain kerja kerja dan kerja.

“Tapi Gun, namanya cowok itu ya maju duluan! Mulai duluan! Masa kamu mau nunggu cewek turun dari langit! Mimpi kamu!” Ya. Hidupku memang seperti mimpi. Siapa yang kira, anak seorang loper koran dapat melanjutkan kuliahnya? Siapa pula yang kira, sarjana sastra tapi membuka bisnis buah strawberry. Ah. Ucapan Doni teman sekelasku di magister yang sudah beristri satu beranak dua tadi hanya terdengar sumbang di telingaku.

Di 25 tahunku ini. Aku masih belum memikirkan wanita. Walau ibu dan bapak sudah mulai gusar. Mereka takut, anaknya yang seperti kulkas ini tak akan pernah jatuh hati. Tak akan pernah ada wanita yang mengalihkan hidupnya.

Selama 15 tahun terakhir aku hampir tak pernah kenal dekat dengan wanita. Satu-satunya wanita yang akrab denganku selain ibu hanya teman SD ku. Yang dulu, saat aku tak disengaja terpaksa duduk satu bangku di kelas. Untungnya… ketika itu aku belum baligh, sehingga aku tak perlu menanam benih-benih kasih cinta pada gadis yang sering kupanggil Uni itu.

Entah bagaimana kabarnya. Aku pun telah melupakan namanya. Seakan kata wanita adalah virus dalam otak, sehingga tak betah bertahan dalam memoriku.

Dan sekarang. Aku masih sama seperti siapapun yang mengenalku dulu.

Ibu dan bapak hanya pasrah. Toh pun mereka tak dapat berdaya banyak. Aku biayai sendiri kuliahku, makan minumku, bahkan segala kebutuhan rumah ini.

Tapi, aku kini lelah.
Entah mengapa, ketika aku melihatnya di sudut jendela tadi pagi, ada sesuatu yang lain melintasi hatiku. Entah apa itu. Namun aku tahu ini sesuatu yang belum pernah kurasa sebelumnya. Aku yakin ini berbeda dari diriku biasanya.

Dia perempuan.
Usianya seperti 5 tahun di bawahku. Aku menatapnya ketika ia menyemai padi di sawah dekat rumah. Aku baru melihatnya. Hari-hari sebelumnya hanya nenek tua sekitar 60 an tahun yang kulihat dari bilik jendela. Ini bukan nenek tua. Melainkan seorang gadis.

Keherananku berpangkal dari waktu yang seakan terhenti kala matanya memandang mentari di pagi itu. Dia tampak bagai bidadari turun dari langit. Sungguh! Aku hanya mampu melihat siluetnya dari sini. Siluet yang terbentuk bayang layaknya cahaya yang berpendar anggun dalam dinginnya atmosfer lintang tinggi. Ya! Aurora. Kemilau cahayanya yang terang menyerupai fajar di pagi hari…

Dan. Pagi ini mataku terbuka amat lebar. Gerak hatiku ikut menggerakkan kakiku melangkah ke arah kepastian. Aku bukan lagi pujangga yang tak jelas pada siapa hati beradu. 
Kini saatnya aku melihat dunia lebih lebar, lebih luas, lebih dari sekadar apa yang ada di selingkaran retinaku. Tak terelak lagi, bahwa aku butuh wanita. Aku sangat membutuhkan sosok itu. Hatiku kering dan amat terasa kerinduannya. Oh Gadis… aku ingin melihat duniamu, masuklah ke dalam duniaku ini. Agar kau tahu, arti kita adalah menyatukan duniaku dengan duniamu. Agar aku menjadi ksatria yang perkasa karena sentuhan lembutmu. Dan engkau, menjadi indah dalam sebuah perlindunganku.[]Crafty Rini Putri

24 September 2015
23.13

0 komentar: