Kembalikan Senyum



Bukan susah. Tapi kadang sulit sekali bagi beberapa orang untuk tersenyum. Tidak dipungkiri, hidup di zaman ini penuh dengan kemelut masalah. Wajar bila kemudian membuat wajah menjadi murung dan tampak sedih. Bagaimana tidak? Bila baru sejenak melangkahkan kaki keluar rumah saja sudah bisa menemui kemaksiatan di depan mata, misalnya dua anak muda yang mojok di pinggir jalan sedang pacaran. Bila bibir kelu untuk langsung menegur, maka wajah pun menjadi tertunduk, dan istighfar dalam hati. Bagus bila langsung bisa menegur bahwa perbuatan tersebut tidak layak dilakukan mereka, terutama bila mereka muslim. Karna sebaik-baik kita, bila ketika melihat kemungkaran, kita mampu mengubahnya dengan tangan, bila tak mampu kita mengubahnya dengan lisan, bila tak mampu juga, maka mengubahnya dengan hati, tapi yang terakhir ini adalah selemah-lemahnya iman seorang mukmin.
Ini baru satu alasan mengapa mudah sekali bagi kita untuk murung atau menampakkan wajah sedih. Belum lagi bila bangun tidur kita mengingat bagaimana kondisi saudara-saudara kita ummat Islam di Timur Tengah yang mungkin disaat kita tertidur, mereka tak mampu melekatkan matanya karena selalu dalam keadaan was-was bila ada bom nyasar, misalnya.
Selain itu, tumpukan permasalahan, baik seputar pribadi, keluarga, atau hubungan pertemanan dan persaudaraan, kadang juga membuat kita enggan dan mati rasa untuk tersenyum dengan setulusnya.
Baik, bila alasan untuk cemberut lebih banyak daripada untuk tersenyum, maka sebaiknya kita merenungkan kembali tuntunan dari pribadi paling mulia di dunia ini, Rasulullah. Abdullah bin al-Harits bin Jaz’in ra berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang paling sering tersenyum selain Rasulullah.” (HR. Tirmidzi).
Rasulullah juga amat menyukai orang yang tersenyum, dan selalu mencontohkannya kepada siapapun. Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali ra, ia berkata, “Rasulullah tidak pernah melihatku kecuali selalu menyertainya dengan senyuman.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karenanya, masalah boleh datang bertubi-tubi, namun wajah tak boleh mengikuti rumitnya masalah yang ada. Justru sebaiknya semakin kusut benang masalah yang kita hadapi, semakin kuatlah alasan kita untuk tersenyum. Bukankah semakin beratnya masalah atau ujian adalah pertanda semakin kuatnya agama seorang mukmin? Rasulullah bersabda, ”Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi. Kemudian baru orang-orang yang lebih rendah derajatnya, berurutan secara bertingkat. Seseorang diuji menurut kadar agamanya. Jika ia kuat dalam agamanya, maka ujiannya akan sangat berat. Dan jika ia lemah agamanya, maka ia akan diuji Allah sesuai tingkat ketaatannya pada agamanya. Demikianlah bala’ dan ujian itu senantiasa dilimpahkan kepada seorang hamba sampai ia berjalan di muka bumi tanpa dosa apapun.” (HR. Tirmidzi).
Tersenyum, adalah tanda kebahagiaan seseorang. Semakin sering ia tersenyum, semakin indah wajahnya untuk dipandang. Pernah kita melihat senyum seoang bayi yang polos, tulus tanpa beban? Lucu sekali bukan? Sungguh mengenakkan melihat senyum seperti ini pada setiap saudara-saudara kita.
Dan jangan salah, senyum sedikit berbeda dengan tertawa. Karena banyak juga di antara kita yang menyatakan semakin banyak tertawa itu sebagai tanda semakin bahagianya seseorang. Tunggu dulu, jangan terlalu terburu-buru menyimpulkan. Mari kita lihat bagaimana petunjuk dari uswatun hasanah kita, Rasulullah. Jabir bin Samurah ra menyebutkan kuantitas tertawa Rasulullah sebagai berikut, “Sesungguhnya Rasulullah adalah orang yang banyak diam dan sangat jarang tertawa.” (HR. Ahmad).
Lalu bagaimana bentuk tertawanya Rasulullah? Siti Aisyah ra pernah berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah tertawa hingga terlihat uvulan (bagian langit-langit yang menonjol ke bawah) dan aku hanya melihatnya tersenyum saja.” (HR. Bukhari).
Abdullah bin al-Harits bin Jaz’in juga pernah berkata, “Saat Rasulullah tertawa, beliau tidak pernah melakukannya kecuali hanya (sebatas) tersenyum.” (HR. Ahmad).
Seperti diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, jelas mengapa Rasul jarang sekali tertawa dikarenakan hal ini, “Dan sedikitlah tertawa, karena terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi)
Hal serupa juga disampaikan oleh Al-Mawardi rahimahullah, beliau berkata, “Sesungguhnya membiasakan diri dengan terlalu banyak tertawa dapat menyimpangkan dari perkara-perkara penting. Tertawa juga akan menghilangkan kesadaran akan bencana dan kedukaan. Orang yang melakukannya bukanlah orang yang mulia dan berwibawa dan juga bukan orang yang sadar akan bahaya serta kemuliaan diri.”
Dari sini, semakin jelas bagaimana cara paling baik kita menghiasi wajah kita. Ya, dengan tersenyum. Karena hati yang sakit akan menjadi sembuh dengan keindahan senyuman. Bukankah masih banyak masalah-masalah ummat yang membutuhkan tangan kita untuk menghilangkan segala kesedihan mereka? Dan bukankah penderitaan kaum muslim saat ini hampir-hampir memakan habis senyum mereka? Tak inginkah kita melihat senyum mereka kembali lagi merekah?
Maka, warnailah hidup kita, hiasilah perjuangan ini, dengan senyum keindahan yang mampu merengkuh banyak hati untuk kembali pada Syari’ah, yang mampu menyentuh setiap orang untuk mau berjuang bersama kita menegakkan kalimatullah di muka bumi ini, dengan tegaknya Khilafah ar-Rasyidah. Sekarang, mari kita periksa wajah kita masing-masing, masihkah ia digumuli oleh air muka kesedihan dan kemurungan? Selalu ingatlah kita pesan Nabi, dan selalu ingatlah kita pada ummat yang membutuhkan ketulusan kita. Jadikanlah agama ini sebagai rahmat bagi siapapun yang kita temui. Jangan sampai karna wajah kita yang kurang enak dipandang, orang lain jadi menjauh dari kita, tidak ingin mengenal Islam yang penuh rahmat. Na’udzubillah..
Walaupun terkesan remeh, tapi ini juga mempengaruhi kualitas hidup dan dakwah kita. Mari kita simak sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu dzar ra bahwa Rasulullah telah bersabda, “Jangan pernah meremehkan kebaikan, walaupun (hanya) bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.” (HR. Muslim).
Sesuatu bisa saja menjadi remeh hanya karena anggapan kita. Maka agar ia tak remeh, mulai sekarang marilah kita belajar untuk menghargai segala sesuatu, sekecil apapun itu. Termasuk membiasakan diri untuk tersenyum, menyambut setiap semakin beratnya ujian hidup dan perjuangan kita! Mari kita kembalikan senyum ummat kembali merekah menyongsong kehidupan damai bersama Syari’ah dan Khilafah. Wallahua’lam.

12 April 2012

0 komentar: