AKU, HAMBA, DAN UANG

Tuhan, di mana Engkau?
Aku mengarungi pagi hingga petang dengan peluh keringat bahkan seringkali darah menghias tubuh lemahku. Kenapa Kau ciptakan aku sebatangkara? Bagai harimau yang siap menerkamku kapan saja, aku dikejar-kejar oleh bayang kehimpitan. Aku tak punya uang! Mengganjal lapar dengan butiran nasi bekas di kotak sampah. Mengapa aku tak bisa hidup tanpa satu sen uang? Tuhan, dunia ini sangat mahal!

*

Pagi ini kukayuh lagi nyaliku mengemis di pinggir jembatan. Kupikir masih ada orang baik yang akan lewat memberiku nasi. Tapi aku tak dapati apapun selain kepingan uang. Dentingan uang itu terdengar jelas di telingaku. Lagi-lagi badan kumuhku hanya berhasil menggugah orang lain menyisihkan sedikit recehan dalam mangkuk kecilku. Ah, makan apa aku dengan uang logam ini? Ingin sekali aku pulang, untuk tidur nyenyak di kasur empuk, tapi di mana? Rumahku beratap langit, beralas bumi, tak seindah milik mereka yang berduit itu!

Bajuku kini compang-camping, karna aku tak punya persediaan selain yang sedang kupakai ini. Mengapa aku tak pernah bertemu dengan hambaMu yang baik? Aku memang tak pernah shalat sejak diusir ibu majikan karna ulahku yang khilaf mencuri sedikit uang di laci kamar tidurnya. Tapi aku masih punya agama! Aku orang Islam! Kerudung lusuhku ini, bukankah seharusnya memancing empati orang lain? Terutama mereka yang sering shalat, yang katanya dekat denganMu! Ah, mereka sangat pelit! Semakin berduit banyak, semakin mau lebih banyak lagi! 

Remaja belia seumurku pasti sedang menikmati dunia fantasinya. Mereka menghambur-hamburkan uangnya sekedar beli jajan untuk cemilan, atau membeli buku biar makin pintar, bahkan yang parah, ratusan ribu hanya untuk memoles kecantikan di salon! Kadang aku tergiur juga untuk punya banyak uang. Tapi... apa nanti aku akan menjadi seperti mereka? Lupa denganMu? Ah! Bodoh sekali aku!

*

Beberapa hari lalu aku melihat orang kaya keluar dari warteg di gang-gang sempit yang biasa kulewati. Warteg itu sangat besar dan terkenal kelezatan makanannya. Dia membawa sejinjing makanan dari warteg itu. Ingin sekali kurebut dan kubawa lari. Saat niatku itu sudah sangat memuncak, dengan sisa tenaga aku berlari ke arah gadis itu, tapi... tiba-tiba langkah gadis itu tertahan. Kantong plastik berisi nasi ia beri kepada kakek tua yang menggigil di depan pojok warteg. Si kakek tua menerima dengan berbinar, lantas sang gadis pergi naik angkot. Aku bergeming. Tuhan, inikah hambaMu yang baik itu...? Kakiku lemas. Niatku berganti menjadi ingin mengejarnya, tapi angkot berlalu dengan cepat. Aku terduduk di pinggir jalan. Ahh...!

*

Saat malam tiba, aku masih sibuk berfikir tentang ’makan apa aku??’ perutku benar-benar penuh dengan angin. Lemas sekujur tubuh, Tuhan... mengapa uang ini tak pernah cukup untuk membeli nasi di warteg? Baik! Aku akan mengais sisa makanan di kotak sampah lagi! Rasa jijik telah kulupa bagaimana. Yang penting aku makan! Makan yang bisa dimakan! Aku meniti nasi bungkus sisa yang hampis basi.

*

Mentari terik menemani tidur panjangku di pinggir jembatan. Dengan apa lagi kupertaruhkan hidup yang hanya seonggok debu ini? Ah Tuhan, aku hampir tak percaya padaMu! Saat mereka bertopeng dengan pakaian eksklusif berjalan penuh angkuh, mempertuhankan uang! Lalu kulihat pula beberapa diantara mereka mengingkari kenikmatan itu. Bukan hal jarang kusaksikan mereka berdiri hampa di atas jembatan ini, mengumpulkan keberanian untuk menghadapMu dengan cara pecundang. 

Kali ini kutatap seorang gadis, tinggi semampai, cantik sekali. Sepertinya aku pernah melihat gadis ini... tapi di mana ya? Ia berteriak kencang yang akhirnya membuyarkan kantukku. Lalu ia menangis sesenggukan. ’Tuhan...? kenapa Kau ciptakan aku seorang diri?! Untuk apa lagi aku hidup di dunia ini?!’ teriaknya. Aku muak sekali melihat gadis cantik berperawakan angkuh itu. Ingin kudorong saja ia sekalian biar orang-orang tak bermoral sepertinya segera hengkang dari bumi! 

’Hey Nona! Kau telah mengganggu istirahatku! Pergi sana!’ akhirnya itu yang kuteriakkan padanya. Ia menurunkan kakinya dari pegangan jembatan. Matanya menyorotkan kebencian, lalu ia mendekatiku, menantang. ’Heh, Kumuh! Ini jembatan bukan punya Elo! Gue mau teriak di sini kek, atau bahkan mati di sini, itu BUKAN urusan Lo!’ Aku bingung mengapa dia jadi marah padaku. Tapi kuladeni saja bentakannya. ’Bukan punyaku emang!’ ia menatapku jijik. ’Jadi terserah gue!!’ teriaknya lagi di depan mukaku. ’Jembatan ini punya Tuhan!!’ teriakku lantang. Ia kaget dan semakin marah. ’Apa Lo bilang? Tuhan?! Tuhan yang bikin hidup gue jadi menderita?! Tuhan yang udah ngambil mama, papa, dan adik gue?! Lo bilang jembatan ini punya Tuhan?!’ Dia menarik jubahku, ’Tuhan yang nyiptain Elo jadi kumuh gini?! Kenapa? Kenapa musti ada duka kalo hidup bahagia itu enak? Kenapa Tuhan ngambil kebahagian gue?! Kenapa? Jawab kenapa!!’ dia mengguncang-guncangkan pundakku. Entah apa dia lupa aku ini hamba kumuh hingga tangan lembutnya menyentuh tubuhku yang sangat kotor dan bau. Aku bergeming, menahan nafas. Ia masih menatap mataku tajam, seolah mencari jawab di sana. Tapi gadis itu lantas pergi karna aku tak juga bersuara, ia berlari kencang ke arah mobilnya.

Kejadian bodoh hambaMu itu sangat menggelitikku. Bahkan aku mampu mengingatkan mereka padaMu! Walau aku sendiri lupa! Gadis itu masih berkerudung, pasti dia sering shalat. Tapi mengapa ia berniat mengakhiri hidupnya dengan cara pecundang?! Mungkin saja ia adalah gadis sempurna yang lahir dari keturunan bangsawan yang kebetulan mengenalMu. Tapi aku tetap tak membenarkan perkataannya. Dunia ini tetap milikMu, walau tingkah para hamba sangat bertolak belakang dari kehendakMu. Bodoh, aku pun begitu! Ah, sudah berapa hari aku tak shalat...

*

Bertahun-tahun lamanya dalam keterasingan dunia sebagai hamba...

Sore di pinggir jalanan yang biasa kulewati, kulihat seorang gadis berjilbab merah ceria dengan senyum yang sangat hangat membagi-bagikan bungkusan nasi kepada beberapa anak kecil kumuh yang berjajar menengadahkan tangan dengan muka yang riang dan lega. Gadis itu tersenyum haru. Tadinya aku berniat mendekatinya, berkenalan. Tapi gairah itu musnah seketika, hasratku untuk hidup dan makan enak telah hilang, bahkan aku puas menjadi diriku yang kumuh, yang kotor, dan tak kenal Tuhan. Tatapanku nanar. Aku terduduk di kayu yang belum seberapa lapuk di tepi jalan sebelum jembatanku. Ya, jembatan ini sekarang milikku kukira, bukan Tuhan, karna aku tak percaya lagi pada Tuhan. Uang membuatku putus asa, dan melupakan Tuhan. Dari kejauhan masih kutatapi gadis itu, ia melihat ke arahku, dan tiba-tiba tersenyum gusar. Ah, masa bodoh! Aku merebahkan pundakku ke sandaran kayu, melelapkan diriku.

’Permisi... Assalamu’alaikum...’ suara lembut itu membangunkanku. Ia sangat terkejut. Aku sendiri bingung, dan memilih tak menggubrisnya.
’Mbak... Mbak yang waktu itu tidur di jembatan kan? Ya Allah...’ matanya berbinar. Aku menatapnya saat nama Tuhan itu disebut. Sudah lama sekali tak kudengar, apalagi kusebut sendiri. Ia duduk di sampingku, menatapku penuh arti. Aku kebingungan dibuatnya. Kenapa wajah gadis ini tak asing bagiku? Aku menghentikan aksi cuekku saat gadis itu menggamit tanganku dengan lembut.
’Namaku Lea, Mbak! Lea Wogefe.’ Ujarnya halus, hangat sekali kedengaran di telingaku. Tapi aku masih tak merespon. Aku telah menjelma menjadi wanita yang tak acuh.
’Mbak... makasih banyak ya, mbak udah ngingetin aku sama Tuhan. Subhanallah...’ lagi-lagi aku terkejut tiap namaNya disebut.
’Dulu aku sempat putus asa dengan hidupku. Aku ditinggal oleh mama, papa, juga adikku. Aku sendirian di rumah besarku. Aku punya banyak uang. Aku bisa membeli apa saja yang kumau. Tapi sejak kecelakaan pesawat yang membawa mama, papa, dan adikku itu pergi kehadiratNya, aku hilang arah. Aku menjadi wanita brutal, dengan teman-teman yang juga brutal. Aku hidup layaknya gadis jakarta dengan hingar bingar kehidupan hedonisnya. Tapi aku tetap bertopeng dengan pakaian ini.’ Ia menunjuk jilbabnya. Lalu melanjutkan,
’agar pamor keluargaku yang telah haji tak jatuh. Ah, Mbak... aku sangat berterimakasih padamu. Semenjak hari itu, aku menangis, aku ingat tentang amanat orangtuaku dulu. Aku sadar tentang diriku sebagai hamba...’ gadis cantik itu menangis, dan menggenggam tanganku erat. Aku tak dapat berkata-kata. Kerongkonganku kering. Nafasku seakan hampir sejengkal. Darah mengalir di urat-urat nadiku deras.
’Nggak. Aku bukan seorang hamba!’ Aku berdiri, tak tahan mendengar penjelasannya. Kuhempaskan tangannya.
’Maksud mbak?’ ia mengusap airmatanya.
’Aku bukan wanita alim yang tetap menjadi hambaNya di tengah galaunya hidup! Aku masih menuhankan uang!’ gadis itu terperangah, tapi aku tak peduli.
’Aku bukan hamba seperti yang kau kira! Uang...! Ya! Uang telah membutakanku! Karna uang, aku lupa dengan Tuhanku!’ aku teriak, meletup-letup.
’Tapi...?’ ia heran.
’Kau kira hanya orang berduit saja yang bisa lupa Tuhan?! Aku juga bisa lupa!!’ gadis itu kaget lagi, kali ini ia melotot kesal atau mungkin kecewa.
’Ahh... aku tak ingat lagi kapan terakhir kali aku shalat...!’ mataku menerawang ke depan jalan raya, beberapa kendaraan melesat agak kencang di depanku.
’Tuhan....!! di mana Engkau...?! Mengapa tak Kau tegur aku?! Atau tak kau cabut saja nyawaku?! Mengapa kau biarkan aku lupa...padaMu?! Tuhan....!’ aku berteriak kencang pada angin yang terbawa mobil-mobil yang melesat.
’Mbak....’ lea menyentuh pundakku lembut. Oh, sentuhan itu merasuk senada dengan nadiku. Aku tetap menatap angin. Lea mendekap pundakku.
’Innallaha ma’ana, Mbak... Dia sedang menyaksikan kita...’ aku menangis dalam syahdu udara yang menghembus senja yang temaram.

Dramaga, 7 desember 2009

0 komentar: